Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan modus fraud atau kecurangan di balik kasus dugaan korupsi dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada beberapa perusahaan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan secara umum hal tersebut terjadi karena komite kredit atau lembaga yang memberikan kredit tidak hati-hati terhadap kondisi dari debitur.
"Saya akan sampaikan terkait dengan salah satu perusahaan yang menerima fasilitas modal kerja ekspor dari LPEI, yakni PT PE. PT PE ini mendapatkan fasilitas kredit modal kerja ekspor sebanyak tiga kali, 2015, 2016, 2017," ujar Alex dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (19/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2015, Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) sebesar $22 juta, pada 2016 KMKE Rp400 miliar, dan KMKE tahun 2017 sebesar Rp200 miliar.
"Jadi, secara keseluruhan fasilitas kredit modal kerja ekspor yang diberikan PT PE ini $22 juta dan Rp600 miliar. Ini bertujuan mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum BBM dan bahan bakar lainnya," kata Alex.
Pimpinan KPK berlatar belakang hakim tindak pidana korupsi (tipikor) ini mengatakan kewenangan dalam proses pemberian pembiayaan berada pada Komite Pembiayaan. Struktur dan keanggotaan Komite Pembiayaan meliputi fungsi bisnis dan risiko.
Alex menerangkan fungsi bisnis pada umumnya diwakili Direktur Pelaksana 1, Direktur Pelaksana 2 dan Direktur Pelaksana 3, dan Senior Eksekutif Vice President (SEVP) 1.
Sedangkan fungsi risiko diwakili Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana 4, Direktur Pelaksana 5, SEVP 6, dan Kepala Divisi Kredit Reviewer.
Alex menjelaskan dugaan fraud dalam pemberian fasilitas kredit modal kerja ekspor ini yakni diduga Komite Pembiayaan dalam memutuskan pemberian pembiayaan pada PT PE mengabaikan security coverage ratio jaminan kelaikan pengajuan pembiayaan dan indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan in house periode Juni 2015 yang dijadikan rujukan memorandum analisis pembiayaan.
"Jadi, laporan keuangan PT PE diduga itu tidak mengandung kebenaran. Itu pada laporan PT PE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiayaan ke PT PE," ungkap Alex.
Misalnya terkait agunan di mana aset tetap yang diajukan PT PE berupa tiga unit ruangan kantor berpotensi gagal dilakukan pengikatan karena belum terbit sertifikat kepemilikan atas aset tersebut. Selain itu, terdapat dugaan penggelembungan nilai piutang PT PE dan fidusia persediaan dilakukan pengikatan secara pari pasu dengan kreditur lain serta jaminan tambahan PT PE berupa personal guarantee dinilai tidak memenuhi unsur claim on basis.
"Secara keseluruhan jaminan-jaminan yang diberikan PT PE itu lebih kurangnya tidak bisa menutup fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada PT PE. Jadi, jaminannya rendah, tidak menutup kredit yang diberikan," tutur Alex.
Selanjutnya laporan keuangan PT PE diabaikan karena tidak sesuai dengan persyaratan financial covenant di mana current ratio PT PE lebih kecil dari satu kali seharusnya.
"Artinya, kalau perusahaan itu pailit kemudian asetnya itu dieksekusi mestinya kalau current ratio di atas satu, itu bisa digunakan untuk membayar fasilitas kredit. Sebetulnya persyaratan itu sudah ditentukan oleh LPEI," lanjut Alex.
Kemudian, debt to equiti ratio lebih besar dari empat kali. Kata Alex, terdapat utang empat kali lebih besar dibandingkan modal. Hal itu, terang Alex, juga mencakup kemampuan dari PT PE untuk membayar fasilitas kredit yang sudah diberikan oleh PT LPEI.
"Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan tidak telitinya dari eks komite kredit LPEI dalam menganalisis laporan-laporan keuangan yang disampaikan oleh PT PE," terang Alex.
Ia menambahkan Komite Pembiayaan diduga menyetujui business plan yang tidak memadai sebagaimana underlying analisis KMKE berupa bisnis retail BBM untuk memasok PT PLN secara tidak langsung melalui PT KPM yang kondisi keuangannya sedang bermasalah. Hal tersebut melanggar kebijakan pembiayaan LPEI.
Selanjutnya terkait dengan dugaan melawan hukum direksi dan Komite Pembiayaan dalam pemberian KMKE yang kedua sejumlah Rp400 miliar. Di antaranya diduga terdapat pengabaian terhadap jaminan aset tetap PT PE berupa tiga unit ruangan kantor di GB plaza yang belum diikat sempurna dan belum ada sertifikatnya sehingga berisiko kegagalan pengikatan jaminan.
Kemudian, diduga Komite Pembiayaan menyetujui penambahan jaminan berupa fix aset yang belum ada dan belum dilakukan penilaian oleh appraisal atau tim penilai PT PE menyatakan akan menyampaikan tambahan jaminan tersebut dalam enam bulan sejak perjanjian ditandatangani.
"Kemudian PT PE melakukan penambahan jaminan berupa fidusia piutang dan fidusia persediaan namun nilai likuidasi tersebut sangat rendah hanya 74 persen dan dinilai tidak mengcover nilai pembiayaan," kata Alex.
Menurut Alex, Komite Pembiayaan LPEI masih menganggap bisnis PT PE berjalan normal dalam MAP KMKE yang pertama, proyeksi suplai BBM jenis HSC ke PLN mencapai 70 ribu kiloliter per bulan. Padahal, fakta realisasi penjualan PT KPM ke PT PLN kurang dari 10 ribu kiloliter per bulan.
"Jadi, volume bisnis dari PT PE juga ternyata tidak sesuai dengan prediksi awal," ucap Alex.
"Penyimpangan yang dilakukan oleh direksi LPEI dalam pemberian jaminan fasilitas ekspor dan penyelesaian pembiayaan terdapat potensi kerugian negara sekurang-kurangnya US$54,5 juta atau dengan kurs Rp14.047,99 senilai Rp766 miliar," tambah Alex.
Lihat Juga : |