Perdebatan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan kembali istilah pelesetan 'mahkamah kalkulator'.
Istilah tersebut awalnya muncul saat calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD mengutarakan pandangannya dalam sidang perdana sengketa Pilpres, Rabu (27/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud mengutip pandangan Yusril Ihza Mahendra saat bertindak sebagai ahli pada hasil sengketa Pemilu 2014 lalu.
"Mahaguru hukum tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra saat ikut menjadi ahli pada sengketa hasil Pemilu 2014 dan bersaksi di MK pada 15 Juli mengatakan bahwa penilaian atas proses pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan oleh MK," kata Mahfud.
Mahfud menyebut pandangan Yusril itu merupakan pandangan yang senantiasa baru dan terus berkembang hingga kini.
Menukil pernyataan Yusril, kata Mahfud, pandangan yang menempatkan MK sekadar menjadi 'mahkamah kalkulator' justru pandangan yang lama atau telah usang.
"Menjadikan MK hanya sekedar mahkamah kalkulator menurut Pak Yusril adalah justru merupakan pandangan lama yang sudah diperbaharui sekarang," ucap dia.
Yusril yang merupakan kuasa hukum pihak terkait, merespons hal tersebut. Ia mengakui ia pernah menyampaikan MK tidak seharusnya hanya mengurus selisih suara. Namun, pernyataan itu disampaikan pada 2014.
Lihat Juga : |
Dia mengatakan pendapatnya saat ini sudah berubah. Menurutnya, MK memang hanya berwenang mengurus perselisihan hasil.
Hal itu karena UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur pembagian kewenangan peradilan hukum kepemiluan. Yusril berkata hal itu tidak diatur saat Pilpres 2014.
Kemudian pada sidang lanjutan, Kamis (4/4), istilah 'mahkamah kalkulator' kembali muncul.
Saksi ahli Prabowo-Gibran, Margarito Kamis mengingatkan UUD 1945 mengatur wewenang MK hanya sebatas perselisihan hasil. Menurutnya, MK akan melanggar konstitusi bila mengurus proses hukum.
"Saya ingin menegaskan taatlah pada teks pasal 24C ayat (1), periksa hasil, bukan di luar itu. Suka atau tidak. Hukum tidak ada urusan suka atau tidak. Hukum itu selalu objektif," kata Margarito dalam sidang sengketa Pilpres 2024, Kamis.
Margarito berpendapat MK pun tidak berwenang mendiskualifikasi kandidat seperti yang diminta Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Pendapat itu dibalas kuasa hukum Anies-Muhaimin, Wakil Kamal. Ia mempertanyakan alasan Margarito mendesak MK untuk hanya mengurus perhitungan suara pilpres.
"Apakah ahli memaksa Mahkamah untuk kembali kepada mahkamah kalkulator?" kata Wakil.
Kamil berpendapat putusan MK dalam sengketa pilpres sejak 2004 selalu mempertimbangkan hal-hal kualitatif.
Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Dian Agung Wicaksono berpendapat persidangan pada Kamis (4/4) lalu menunjukkan MK tidak ingin sekadar menilai selisih angka.
Sidang hari itu menghadirkan saksi dan ahli dari tim Prabowo-Gibran.
"Persidangan hari ini menunjukkan MK ingin keluar tidak hanya menilai selisih angka-angka, hal tersebut bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh majelis hakim," kata Dian saat dihubungi CNNIndonesia.com, kemarin.
Tidak hanya itu, ia menilai langkah MK mengundang empat menteri pada Jumat (5/4) juga menjadi pertanda MK ingin keluar dari hanya menilai selisih angka.
Menurutnya, MK memang dimungkinkan menilai tidak hanya selisih angka.
"MK mau letterlijk selisih angka memang dimungkinkan menurut UUD, tapi kalau MK mau keluar dari menilai selisih pun juga dimungkinkan, karena selisih angka timbul dari proses. Semua tergantung pendirian Majelis Hakim," katanya.
Bersambung ke halaman berikutnya: Kans Permohonan Dikabulkan
![]() |