Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menjadi salah satu saksi dalam sidang kode etik dan pedoman perilaku Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Hal itu disampaikan Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi atauACLC KPK, Jakarta, Selasa (14/5).
"Saksi itu ada kurang lebih 10 ya. Salah satunya Pak Alexander Marwata, sisanya dari Kementan, ada juga dari KPK, itu saja," ujar Syamsuddin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syamsuddin mengatakan Ghufron juga mengonfirmasi akan hadir dalam sidang hari ini.
Apabila Ghufron tak hadir, kata dia, sidang pun akan tetap berjalan.
"Kalau sidang di awal-awal itu sama ya, pemeriksaan saksi-saksi gitu. Semua saksi kan sudah kita panggil, sudah diklarifikasi. Kemudian diperiksa ulang di dalam sidang," kata Syamsuddin.
Panggilan sidang hari ini merupakan penjadwalan ulang setelah sebelumnya Ghufron tidak memenuhi panggilan Dewas pada Kamis (2/5).
Karenanya, Dewas pun menunda pelaksanaan sidang kode etik menjadi Selasa, (14/5) hari ini.
Nurul Ghufron disangka melanggar kode etik terkait dengan penyalahgunaan pengaruh di balik mutasi pegawai Kementerian Pertanian RI berinisial ADM.
Selain itu, dalam perjalanannya, Ghufron terlibat konflik dengan Anggota Dewas KPK Albertina Ho. Ia melaporkan Albertina ke Dewas KPK.
Ghufron menjelaskan mempunyai hak untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik insan komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b Perdewas Nomor 3 Tahun 2021.
"Materi laporan saya dugaan penyalahgunaan wewenang berupa meminta hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK, padahal Dewas sebagai lembaga pengawasan KPK bukan penegak hukum dan bukan dalam proses penegakan hukum (bukan penyidik) karenanya tak berwenang meminta analisis transaksi keuangan tersebut," ujar Ghuron melalui keterangan tertulis, Rabu (24/4).
Lebih lanjut, Ghufron juga membawa permasalahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ia juga menggugat Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) KPK Nomor 3 dan 4 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung (MA).