Jelang akhir periode bakti 2019-2024, DPR RI menggodok revisi Undang-Undang Kementerian Negara. Rancangan Undang-Undang (RUU) itu pun menjadi usulan DPR, di mana salah satu rancangan pasalnya adalah memberi kebebasan presiden untuk menentukan jumlah kementerian di bawahnya.
Draf tersebut mengusulkan untuk mengubah ketentuan UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang membatasi maksimal sebanyak 34 kursi menteri. Upaya membuka keran jumlah kementerian agar 'terserah' presiden itu pun mengundang polemik.
Sejumlah pengamat menilai hal tersebut menjadi langkah untuk membuka ruang luas bagi Presiden-Wapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terhadap partai-partai koalisinya ke dalam kabinet pemerintahan mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PDIP dan PKS, dua partai di luar koalisi Prabowo-Gibran, mengkritik soal jumlah kementerian itu meskipun menyetujui usulan revisi UU Kementerian.
PDIP menilai penambahan jumlah kementerian tak memperhatikan unsur efisiensi negara menghadapi situasi global saat ini. Serupa PDIP, PKS pun mengusulkan agar frasa jumlah kementerian disesuaikan kebutuhan harus menambahkan pertimbangan efisiensi.
Secara historis jumlah kementerian di Indonesia memang kerap berubah-ubah, mengembang dan mengempis seiring pergerakan rezim penguasa. Namun, berdasarkan data yang dihimpun dari situs Sekretariat Kabinet RI, jumlah kementerian dalam kabinet pemerintahan pascareformasi tak lepas dari angka sekitar 30an hingga saat ini.
Selepas reformasi 1998, hanya ada dua presiden yang menghabiskan setidaknya satu periode pemerintahan (lima tahun). Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah dua periode pada 2004-2009 dan 2009-2024, kemudian Joko Widodo (Jokowi) yang juga memerintah dua periode yakni 2014-2019 dan 2019-2024 yang sedang berjalan saat ini.
Sedangkan tiga presiden lain pascareformasi 1998 yakni BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati tak menghabiskan masa pemerintahan total lima tahun sebagai kepala pemerintahan.
BJ Habibie hanya menjabat selama satu tahun setelah 'mewarisi' kursi kepresidenan dari Soeharto yang dijungkalkan oleh gerakan reformasi 1998. pada tahun 1998 hingga 1999. Di bawah pemerintahannya selama setahun--hingga 1999--Habibie disokong 39 kementerian dalam Kabinet Reformasi Pembangunan.
Setelah Pemilu 1999, Gus Dur terpilih di MPR untuk menjadi presiden didampingi Wapres Megawati Soekarnoputri. Dia disokong Kabinet Persatuan Nasional yang berisi 37 kementerian. Tapi, kepresidenannya tak berlangsung lama karena dimakzulkan MPR, lalu diganti Megawati pada 2001.
Megawati yang kemudian didampingi Wapres Hamzah Haz disokong Kabinet Gotong Royong yang berisi 33 kementerian.
Selanjutnya, Presiden keenam RI SBY pada periode pemerintahan pertamanya, 2004-2009, bersama Wapres Jusuf Kalla membentuk Kabinet Indonesia Bersatu yang berisi 3 kementerian.
Lalu pada periode kedua pemerintahan usai memenangkan Pilpres 2009, SBY bersama Wapres Boediono membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II dengan jumlah kementerian yang sama.
Tak ada perubahan yang signifikan antara dua kabinet yang dibentuk SBY dalam dua periode masa jabatannya, hanya penamaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Kabinet Indonesia Bersatu berganti nama menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada kabinet selanjutnya.
Pada masa periode pertama Presiden ketujuh RI, Jokowi, bersama Wapres Jusuf Kalla membentuk Kabinet Kerja yang berisi 34 kementerian. Lalu pada periode kedua pemerintahannya bersama Wapres Ma'ruf Amin, Jokowi mengubah nama pemerintahannya jadi Kabinet Indonesia Maju yang juga disokong 34 kementerian.
Dalam dua kabinet bentukannya juga, Jokowi beberapa kali merubah nama perubahan nama dan nomenklatur kementerian serta menetapkan kebijakan terkait rangkap jabatan menteri dengan jabatan di partai politik.
Seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) pada Kabinet Kerja berubah nama menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) pada Kabinet Indonesia Maju. Selain itu, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dilebur dengan digabungkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) pada Kabinet Indonesia Maju.
Beberapa kementerian di era SBY memiliki nomenklatur yang berbeda dan beberapa di antaranya ditiadakan atau digabungkan di era Jokowi.
Misalnya, ada Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang kemudian diintegrasikan atau diubah namanya di era Jokowi.
Terdapat juga jabatan setingkat menteri seperti Sekretaris Kabinet dan Jaksa Agung yang bertambah di era Jokowi menjadi Kejaksaan Agung, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Staf Kepresidenan.
Jokowi memperkenalkan beberapa kementerian baru dan mengubah atau memisahkan beberapa kementerian yang ada. Misalnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Agraria dan Tata Ruang; serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang sebelumnya tidak ada di era SBY.
Jokowi menggabungkan beberapa fungsi kementerian untuk menciptakan kementerian yang lebih terfokus pada tugas spesifik, seperti mengubah Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Jika menilik selama era Republik Indonesia, secara historis jumlah kementerian terbanyak ada di masa Presiden pertama RI, Sukarno. Kabinet Dwikora I (1964-1966 berisi 90 kementerian. Sebanyak 90 kementerian itu dipimpin 104 menteri/wakil menteri/pejabat setingkat menteri.
Pada Kabinet Dwikora II yang berlangsung singkat pada 1966 lalu, Sukarno memiliki 86 kementerian.
Kemudian di masa Presiden kedua RI, Soeharto, jumlah kementerian beragam dari mulai 23 pada pemerintahan awalnya atau Kabinet Ampera II (1967-1968) hingga terbanyak pada periode lima tahun sepanjang dekade 1980-1990an yakni di atas angka 40 kementerian.
(rst/kid)