Jurnalis, Mahasiswa hingga Aktivis di Surabaya Tolak RUU Penyiaran

CNN Indonesia
Kamis, 23 Mei 2024 19:22 WIB
Berbagai elemen masyarakat sipil di Surabaya, Jawa Timur, menggelar diskusi dan konsolidasi untuk menyikapi revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Unjuk rasa tolak RUU Penyiaran. (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Masalah lain ialah Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran.

"Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, itu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di mana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengketa pers. Jadi di sini ada tumpang tindih," ujar dia.

Sementara itu, Koordinator Kontras Surabaya, Fathul Khoir mengatakan, RUU Penyiaran ini terindikasi memiliki niat jahat untuk membunuh demokrasi, memberangus kemerdekaan pers serta membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam diskusi tadi ada beberapa poin penting. Salah satunya bahwa RUU ini ada indikasi untuk membungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi," kata Fatkhul.

Fatkhul menyebut salah satu poin yang krusial ialah aturan yang membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa mengawasi 'platform digital penyiaran'.

Istilah 'platform digital penyiaran' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar. Hal ini masih tidak didefinisikan secara jelas dan rancu. Artinya, wewenang KPI berpotensi melakukan penyensoran di berbagai layanan internet, termasuk yang dibuat oleh konten kreator.

Dengan demikian, kata dia, semua produk dari pelaku budaya, kesenian, atau konten kreator yang muncul dalam platform-platform digital akan diawasi dan diatur oleh KPI, serta harus tunduk pada larangan yang sangat normatif dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.

"Ini kan rentan kemudian dipakai penguasa sebagai alat untuk melakukan sensor terhadap lembaga penyiaran atau konten digital," ucapnya.

Maka tidak akan ada lagi ruang alternatif bagi para seniman untuk mendistribusikan karya tanpa kekangan negara. Selama ini, UU Penyiaran sudah mempersempit ruang berkesenian di kanal publik (TV dan radio) dan UU Perfilman memberlakukan sensor di bioskop.

"Kami enggak bisa membayangkan bagaimakan konten kreator yang bekerja sendiri kemudian dia harus melaporkan setiap konten yang dimiliki ke KPI. Lalu KPI akan melakukan sensor apakah ini layak atau tidak layak, ini yang kemudian saya bilang adalah ruang untuk membatasi," ujarnya.

Jadi, problem RUU Penyiaran ini bukan hanya soal pers saja. Tapi kata Fathul, RUU ini membatasi hak publik untuk mendapatkan akses informasi yang benar. Hal itu jelas melanggar hak asasi manusia.

Setelah konsolidasi ini, Fatkhul berharap seluruh elemen masyarakat sipil untuk bergerak melakukan kajian dan aksi menolak RUU Penyiaran ini.

"Kami akan terus mengkaji. Karena memang kita tahu bahwa revisi terhadap UU tidak bisa dihindarkan, tapi kemudian bukan seperti ini cara untuk membuat revisi UU, karena memang dari awal revisi ini tidak melibatkan partisipasi publik dan bahkan kami duga tidak melibatkan orang-orang yang punya kompetensi di dunia jurnalis," pungkasnya.

(frd/wiw)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER