Pendapat tersebut juga diamini oleh Peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Bambang Rukminto.
Bambang tidak menampik apabila perluasan kewenangan di ruang siber diperlukan untuk mengatasi kejahatan elektronik yang semakin marak terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perluasan itu, kata dia, memang memiliki dampak positif agar kepolisian dapat menindak tegas kejahatan siber yang terus berkembang dengan cepat.
Hanya saja, ia menilai jauh sebelum dilakukan perluasan kewenangan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu menyiapkan perangkat pengawasan terhadap Polri salah satunya dengan melakukan revisi pada KUHAP.
"Sebelum memberikan kewenangan yang besar pada Polri terkait pengawasan dan penindakan di ruang siber, harus disiapkan perangkat pengawasannya. Salah satunya revisi KUHAP yang bisa mengantisipasi problematika di ruang siber," tuturnya.
Lebih lanjut, ia curiga dengan banyaknya penambahan kewenangan dan perpanjangan masa pensiun justru berpotensi menjadikan Polri sebagai alat hegemoni kekuasaan.
"Ini bahaya, karena lembaga negara yang diberikan kewenangan penegakan hukum bisa dijadikan alat politik kekuasaan dan bisa dijadikan alat untuk menekan hak-hak masyarakat," jelasnya.
Karenanya Bambang mendorong agar RUU Polri juga turut mengakomodasi penguatan sistem kontrol dan pengawasan eksternal seperti Kompolnas.
Ia memandang penguatan bisa dengan mudah dilakukan lewat penambahan jumlah wakil dari masyarakat dalam penegakan etik dan disiplin anggota Polri.
"Selain memberi masukan pada Presiden terkait pemilihan Kapolri, maupun memberikan masukan pada arah kebijakan Polri," tuturnya.
Bambang menegaskan seharusnya perbaikan peraturan Kepolisian dilakukan dengan memprioritaskan kebutuhan masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman bukannya kebutuhan internal institusi.
"Revisi Undang-Undang Polri harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan institusi Polri belaka," ujarnya.
(tfq/pmg)