Kapal Ikan Vietnam, China, dan Ancaman Kedaulatan di Laut Natuna Utara

Feri Agus Setyawan | CNN Indonesia
Jumat, 31 Mei 2024 18:19 WIB
Kapal ikan asing Vietnam masih melakukan illegal fishing di Laut Natuna Utara. Klaim China soal ten-dash line menambah ketegangan baru di Laut China Selatan.
KRI Multatuli salah satu kapal yang melakukan patroli di Laut Natuna Utara. (CNN Indonesia/Hamka Winovan)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto mengatakan pemerintah telah menetapkan major project untuk penguatan keamanan Laut Natuna Utara. Perairan di utara Indonesia ini berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.

Penyediaan alat utama sistem senjata alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI itu masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pendanaan proyek ini dicanangkan sebesar Rp12,2 triliun dari APBN selama lima tahun (Rp2,44 triliun/ tahun).

Namun, realisasi alokasi anggaran untuk major project keamanan laut Natuna baru Rp3,2 triliun alias tak sampai 50 persen dari indikasi pendanaan dalam RPJMN 2020-2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hadi menyebut Laut China Selatan merupakan wilayah yang memiliki nilai strategis tinggi dan menyimpan sumber daya alam yang melimpah. Sepertiga kapal kargo perdagangan dunia melewati wilayah Laut China Selatan.

Tak hanya itu, Laut China Selatan juga menyimpan cadangan gas alam dan minyak bumi. Kemudian perairan ini juga memiliki cadangan ikan dunia.

Dengan potensi kekayaan alam yang melimpah, kata Hadi, Laut China Selatan menjadi sumber ketegangan karena muncul sengketa teritorial berupa klaim tumpang tindih dari enam negara, yaitu Brunei Darussalam, Vietnam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan China.

Menurutnya, situasi ini semakin memburuk dengan adanya klaim China untuk seluruh wilayah Laut China Selatan melalui nine-dash line. Hadi mengatakan meski bukan negara yang terlibat langsung, Indonesia memiliki kepentingan yang besar untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di perairan tersebut.

"Laut China Selatan atau LCS berada di halaman depan Indonesia, dan tentunya kita tak ingin melihat adanya konflik atau bahkan terjadinya perang di kawasan itu," kata Hadi dalam diskusi 'Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan' yang digagas Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) secara virtual, Selasa 19 Maret lalu.

Hadi mengatakan Indonesia memiliki hak kedaulatan serta berdaulat di Laut Natuna Utara.

Menurutnya, suatu negara pantai memiliki kedaulatan dalam batas laut teritorial sejauh 12 mil laut dari pulau terluar. Sementara sejauh 200 mil laut suatu negara memiliki hak berdaulat dalam zona ekonomi eksklusif atau ZEE.

"Pemerintah Indonesia terus menaruh perhatian dan berkepentingan atas hak berdaulat yang seharusnya dan berhak mengelola kekayaan alamnya. Dan sebaliknya negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam itu tanpa izin dari Indonesia," ujarnya.

Mantan Panglima TNI itu menjelaskan akar masalah sengketa wilayah yang terjadi di Laut China Selatan ini bermula dari klaim pemerintah Tiongkok soal nine-dash line yang meliputi seluruh perairan tersebut hingga sampai ke Laut Natuna Utara.

Setelah itu muncul berbagai insiden saling tabrak antara kapal-kapal coast guard China dan Filipina, penggunaan laser dan water canon atau blokade akses nelayan. Hal ini bisa mengancam stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan.

Menurutnya, China kembali mengeluarkan peta baru terkait teritorial di Laut China Selatan dengan istilah ten-dash line pada 2023 lalu. Klaim perairan baru ini tumpang tindih dengan wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Hadi mengatakan pemerintah terus mempercepat proses negosiasi kode etik atau Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan. Inisiatif Indonesia ini melibatkan ASEAN dan China.

"Indonesia sebagai negara non-claimant secara konsisten menyampaikan keberatan karena peta tersebut tidak berdasarkan pada UNCLOS 1982," katanya.

"Pemerintah Indonesia akan selalu mengedepankan cara-cara dialog yang damai dalam menghadapi konflik di kawasan dan tentunya mengedepankan prinsip penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara," ujar Hadi menambahkan.

Diplomasi tanpa henti

Sementara itu Duta Besar Indonesia untuk Filipina Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan diplomasi menjadi kunci untuk meredam dan mencegah konflik di Laut China Selatan. Menurutnya, perlu langkah selain adu kekuatan militer di perairan yang beririsan dengan batas sejumlah negara tersebut.

"Kita melihat bahwa sebetulnya peningkatan eskalasi dari penyelesaian menjadi dari ketegangan menjadi konflik itu tidak menguntungkan siapapun," kata Agus.

Agus menyebut Tiongkok dalam peta konflik di Laut China Selatan hanya sendirian. Sementara sejumlah negara ASEAN, seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina mempunyai kepentingan yang sama karena merasa mendapat ancaman dari China.

Menurut Agus, sekarang China bahkan sudah menantang Vietnam untuk mempersoalkan garis batas landas kontinen di Laut China Selatan.

"Jadi dari segi imbangan daya tempur baik itu secara diplomasi, ekonomi atau militer, China masih di bawah, apalagi bahwa Amerika akan selalu mendukung untuk menjamin adanya kebebasan lintas pelayaran internasional," ujarnya.

Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) itu menjelaskan dalam diplomasi ataupun negosiasi permasalahan sengketa tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat seperti satu minggu atau satu bulan. Menurutnya, negosiasi itu bisa berjalan dalam jangka waktu yang lama.

"Artinya nikmati saja negosiasi itu sampai kesepakatan tercapai. Saya rasa diplomasi akan menjadi ujung tombak dari upaya penyelesaian ini melalui penggunaan element of national power. Apalagi kita lihat bahwa sebetulnya perimbangan kekuatan ini ada pada kita," katanya.

(fra)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER