Selain itu, Herdiansyah menilai putusan MA seharusnya tidak langsung berlaku pada Pilkada Serentak 2024.
Dia lantas menerangkan itu terjadi karena di dalam hukum ada yang dinamakan purcell principle yakni di mana salah satunya hakim harus menahan diri dari upaya mengubah aturan pemungutan suara menjelang pemilihan.
"Kalau tahapannya sudah jalan, mestinya putusan pengadilan mau di Mahkamah Agung, termasuk Mahkamah Konstitusi misalnya, itu tidak boleh mempengaruhi pelaksanaan pemilihan umum atau pelaksanaan perkara dalam konteks itu. Kalaupun ini diberlakukan, ya pilkada berikutnya," ujar Herdiansyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herdiansyah mendorong KPU untuk tidak menjalankan putusan MA. Dia berkata KPU beberapa kali tidak menjalankan putusan MA terkait kepemiluan.
Misalnya, saat MA membuat putusan tentang keikutsertaan anggota partai politik di pemilihan anggota DPD pada 2018. Begitu pula soal keterwakilan perempuan di pemilu dalam putusan MA beberapa waktu lalu.
"Jadi kalau kemudian ada pertanyaan apakah keputusan MA yang 2024 ini itu mesti diabaikan oleh KPU? Saya pikir itu mesti diabaikan," ucapnya.
Tahapan Pilkada serentak 2024 saat ini sedang berjalan. KPU sedang membuka pendaftaran para calon peserta pilkada yang digelar serentak untuk tingkat kabupaten/kota hingga provinsi se-Indonesia.
Lihat Juga : |
Sementara itu, KPU menyatakan pihaknya akan mengharmonisasi peraturan setelah ada putusan MA tersebut. Selain itu, KPU juga dijadwalkan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah untuk menyikapi putusan tersebut.
Komisi II DPR menjadwalkan rapat membahas putusan Mahkamah Agung dengan KPU soal perubahan syarat usia calon kepala daerah Pilkada 2024, khususnya pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus menyebut rapat diperkirakan akan digelar pekan depan.
"Mudah-mudahan pekan depan," kata Guspardi saat dikonfirmasi, Rabu (5/6).
Sementra itu, Menko Polhuman Hadi Tjahjanto mengatakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah (cakada) tergantung KPU. Hadi mengatakan putusan MA berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat mengikat.
"Kalau kita melihat putusan MK, itu langsung mengikat, tapi kalau putusan MA ini nanti, itu nanti adalah nunggu pelaksanaannya oleh KPU, jadi nanti tergantung KPU yang melaksanakan," kata Hadi di Jakarta Pusat kemarin.
Sementara itu, KPU membantah harmonisasi aturan pascaputusan MA itu dilakukan pihaknya demi memuluskan pihak tertentu yang diduga akan diuntungkan.
Hal itu Mellaz sampaikan saat dimintai tanggapan mengenai adanya dugaan bahwa Putusan MA akan memberi karpet merah Pilgub 2024 kepada Kaesang.
"KPU secara prinsip tentu berpegang teguh pada aturan. Dan kemudian kalau ada semacam tudingan bahwa putusan ini punya pretensi kepada seseorang, percayalah KPU tidak akan masuk wilayah ke sana," kata Mellaz dalam diskusi bertajuk 'Pilkada Damai 2024: Membangun Pilkada Sukses, Aman, Partisipatif', Rabu kemarin.
Mellaz menyatakan sikap KPU hanya menghormati kewenangan dari lembaga lain, termasuk MA.
"Ini putusan yang berasal dari pembagian kekuasaan yang lain di bidang lain, dari bidang yudikatif," ujarnya.
"Secara prinsip tentu kami menghormati kewenangan dari lembaga lembaga yang ada dalam struktur tata negara Indonesia. Tapi memang fakta proses harmonisasi sedang berlangsung," imbuhnya.
Sementara itu, Kaesang tak mengatakan putusan MA memungkinkan dirinya maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2024. Namun, ia belum memastikan apakah akan maju.
"Kalau ditanya saya maju atau tidak, tunggu kejutanya di bulan Agustus," ujar Kaesang di Kantor DPP PSI, Jakarta, Selasa (4/6).
Putusan MA yang dinilai bakal jadi karpet merah untuk Kaesang itu diputus tiga hari oleh Majelis MA yang dipimpin Hakim Agung Yulis sebagai Ketua, dan hakim agung Cerah Bangun (anggota I) serta hakim agung Yodi Martono Wahunadi (anggota II).
Dalam putusan itu hakim anggota Cerah Bangun menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni permohonan tersebut sebaiknya ditolak majelis hakim.
(dhf/kid)