Sebelum terpilih, para calon anggota KPU lebih dulu menjalani uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test di Komisi II DPR.
Neni menyebut pihaknya selama ini sudah kerap mengingatkan terkait transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan anggota KPU. Termasuk, soal pengecekan terhadap rekam jejak para calon.
"Ini kan sangat disayangkan sekali begitu ya, karena hanya dengan preferensi politik yang mereka punya, masing-masing parpol punya prefrensi, pada akhirnya tidak melihat dari sisi integritasnya," ucap Neni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Neni mengatakan persoalan ini tak hanya di KPU pusat saja, tetapi juga terjadi di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Bahkan, menurut Neni, proses rekruitmen anggota KPU yang selama ini terjadi hanya sebatas prosedural.
"Buat saya rekruitmen dan seleksi hanya sebatas prosedural saja, tapi tidak substansial, bagaimana ada kepentingan substansi untuk menyelematkan demokrasi ini," kata dia.
"Banyak penyelenggara pemilu yang tidak kapabel, tidak pnya kapasitas, kapabiltas, bahkan knowledge tentang kepemiluan itu something they dont know, tapi masuk dan lolos sebagai penyelenggara pemilu," sambungnya.
Castro pun menyoroti soal uji kelayakan dan kepatutan anggota KPU yang dilakukan di DPR. Menurutnya, hal ini membuka ruang terjadinya transaksi kepentingan, termasuk politik.
"Yang menjadi problem sebenarnya kan adalah kanal uji kelayakannya, fit and proper-nya kan dilakukan di DPR kan, nah itu yang bagi kami kalau teman-teman hukum tata negara selalu menyebut bahwa KPU ini jenis kelaminnya adaah lembaga semi politik," tutur Castro.
Castro berpendapat hal tersebut harus diubah dan perlu dibuat sebuah formula khusus terkait proses pemilihan anggota KPU.
"Mesti dibuatkan formulasi yangebih tepat untuk menghindari politisasi dan sifat transaksional ketika proses pemilihan," ujarnya.
Lebih lanjut, Titi menyampaikan putusan DKPP memecat Hasyim harus menjadi momen bagi KPU untuk segera berbenah. Apalagi, sebentar lagi KPU akan dihadapkan dengan agenda Pilkada Serentak 2024.
"KPU harus segera berbenah, harus memperbaiki kinerja kelembagaan, kemudian memastikan proses Pilkada, tidak mengulangi tindakan melanggar etika penyelenggara pemilu yang bisa memperburuk citra KPU," ucap dia.
Momen ini, kata Titi, juga harus menjadi pengingat bagi anggota KPU bahwa meskipun memiliki kewenangan strategis, mereka juga memiliki batasan. Yakni, terkait penegakan hukum dan penegakan etika.
"Ketika melakukan pelanggaran bisa jadi mereka selamat sekali, dua kali, tetapi kontrol masyarakat dan pengawasan publik akan selalu bekerja terhadap mereka, jangan sampau ada Hasyim Asy'ari lainnya di dalam penyelenggaraan pemilu dan Pilkada kita," tuturnya.
Sementara itu, Castro mengingatkan soal moralitas dan etika terhadap para penyelenggara pemilu. Sebab, setiap pelaksanaan aturan hukum harus berpedang pada moralitas dan etika.
"Di dalam hukum ada istilah law without morality useless, enggak ada gunanya, meskipun teman-teman mengatakan kita taat terhadap hukum, kita mematuhi hukum, punya rambu-rambu hukum, tapi kalau kita tidak taat tehadap etik, tidak taat terhadap moralitas ya enggak ada gunanya, yang terjadi ya seperti kasusnya Hasyim ini," tutur Castro.
"Makanya menurut saya paling penting bagi teman-teman penyelenggara juga dia mesti punya prinsip, punya karakter, punya moralitas, punya etik yang betul-betul bisa membentengi dirinya dari perbuatan-perbuatan semacam apa yang dilalukan Hasyim Asy'ari," sambungnya.
(dal/dis/dal)