Mengenang 28 Tahun Peristiwa Berdarah Kudatuli di Kantor PDI

CNN Indonesia
Sabtu, 27 Jul 2024 09:50 WIB
Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli di kantor pusat PDI telah menewaskan 5 orang, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.
Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli di kantor pusat PDI telah menewaskan 5 orang, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang. (AFP PHOTO/JOHN MACDOUGALL)
Jakarta, CNN Indonesia --

Dua puluh delapan tahun lalu, kerusuhan 27 Juli 1996 pecah di kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta.

Peristiwa yang dikenal dengan akronim Kudatuli itu menewaskan lima orang, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah internal PDI berupa dualisme kepemimpinan Soerjadi vs Megawati Sukarnoputri jadi akar pecahnya Kudatuli.

Megawati dikukuhkan menjadi ketua umum lewat hasil Kongres Surabaya 1993. Di sisi lain, Soerjadi juga ditetapkan jadi ketum berdasarkan hasil Kongres Medan 1996.

Kantor DPP PDI yang diduduki Mega diserbu oleh kelompok Soerjadi. Soerjadi saat itu digunakan pemerintah Orde Baru untuk mendongkel Megawati.

Mendagri kala itu, Yogie S. Memet mengakui Soerjadi sebagai ketum. Hal itu pun memantik reaksi dari pendukung Mega.

Mimbar bebas dan orasi politik dilakukan di sana, tak hanya oleh kader PDI, dukungan juga mengalir dari LSM, simpatisan, hingga masyarakat.

Mayjen Pol Hamami Nata sebagai Kapolda Metro Jaya kala itu menginstruksikan DPP PDI di bawah Mega agar segera menghentikan kegiatan mimbar bebas.

Begitu pula Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso yang menyebut mimbar bebas itu telah menjadi ajang mencaci maki pemerintah. Mega memang dikenal sebagai oposisi nomor wahid di masa Orba.

Kepolisian menganggap kerumunan massa itu menyebabkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Tak tinggal diam, massa pendukung Soerjadi mendatangi Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 di pagi hari.

Peter Kasenda dalam Peristiwa 27 Juli 1996 Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) menuliskan, massa PDI pendukung Soerjadi berteriak memaki-maki dan menghujani dengan batu ke pendukung Megawati yang bertahan di kantor DPP PDI.

Mereka juga membakar spanduk-spanduk yang tertancap di sekeliling pagar. Dengan leluasa massa pendukung Soerjadi menyerbu Kantor DPP PDI karena ratusan aparat kepolisian dan militer memblokir wilayah sekitar.

Akibatnya, Satgas PDI yang jumlahnya kurang dari 100 orang terkepung dan mempertahankan markas sendiri tanpa bantuan dari luar.

Kerusuhan pecah, peristiwa merembet ke luar Kantor DPP PDI. Sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api dekat Stasiun Cikini yang berujung jadi bentrokan antara massa dengan aparat keamanan.

Proses Hukum Kudatuli

Pascakerusuhan, penyelidikan langsung dilakukan. Hasil penyelidikan mendapati Soerjadi dan sejumlah jajarannya terlibat dalam Peristiwa Kudatuli. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dan dipenjara berdasarkan putusan pengadilan.

Namun menurut Komnas HAM, sejumlah perwira militer ikut terlibat dalam peristiwa ini dan belum diadili. Penyelesaian Peristiwa Kudatuli masih terus berlangsung hingga saat ini.

Selain itu, massa pendukung Megawati sebanyak 124 orang juga menjadi terdakwa. Soerjadi dan Sekjen DPP PDI hasil Kongres Medan, Buttu R Hutapea juga digugat oleh para pendukung Mega.

Soerjadi bahkan mempersilahkan siapa saja yang ingin membawa kasus itu ke pengadilan. Ia menginginkan peristiwa itu diselesaikan secara hukum.

"Kalau punya bukti, silakan bawa ke pengadilan bahwa saya bersalah. Saya ingin ada kejelasan dalam kasus ini, tidak dikatung-katung," kata Soejadi dikutip detikcom, 27 Juli 2005.

"Hanya saja bagi mereka yang tidak bisa dibuktikan keterlibatannya supaya dikeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Saya dan teman-teman di PDI juga masuk ke dalam itu (tidak ada bukti)," imbuhnya.

Ia menyampaikan Kudatuli itu diawali dengan mimbar bebas yang membuat penguasa di zaman Orde Baru marah dan ingin membubarkannya.

Soerjadi menyebut kubunya pernah diminta oleh rezim untuk membubarkan mimbar bebas. Tetapi ia menolak. Namun tiba-tiba pada 27 Juli 1996 ada penyerangan.

"Tidak ada anak buah saya yang ikut melakukan penyerangan. Saya tidak tahu siapa yang melakukan ide itu," ucap dia.

Pelanggaran HAM berat

Pada banyak kesempatan, PDIP meminta agar peristiwa berdarah itu ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.

Pada peringatan 27 tahun Kudatuli yang digelar di DPP PDIP, Kamis (27/7/2023), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ingin peristiwa ini dibawa sampai ke pengadilan HAM. Ia yakin peristiwa itu merupakan pelanggaran HAM berat.

Hasto juga menyebut PDIP meminta Komnas HAM untuk membentuk tim Ad Hoc penyelidikan penetapan HAM berat kasus Kudatuli.

(mnf/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER