Jakarta, CNN Indonesia --
Sebanyak 190 kandidat calon pimpinan KPK dan 102 anggota Dewas KPK tersisih karena tidak lulus tes tulis. Saat ini masing-masing posisi menyisakan 40 orang kandidat.
Mereka selanjutnya diwajibkan mengikuti tahap penilaian profil atau profile assesment yang akan diselenggarakan pada 28 dan 29 Agustus 2024. Hasil uji ini akan diumumkan pada 10 September 2024.
Untuk kategori capim KPK, sebanyak 16 kandidat atau 40 persen berlatar belakang aparat penegak hukum baik yang masih aktif maupun purnatugas. Delapan orang merupakan anggota dan mantan Polri; empat orang jaksa; dan empat orang hakim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan 24 orang lainnya terdiri dari akademisi, pejabat dan mantan pejabat publik, hingga internal KPK.
Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, organisasi yang fokus pada isu antikorupsi bentukan mantan pegawai KPK yang disingkirkan Firli Bahuri Cs lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), menilai masih ada calon bermasalah yang diluluskan pansel.
Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha menilai seleksi tertulis seharusnya bisa merepresentasikan pengetahuan atas pengalaman pemberantasan korupsi yang dilakukan.
Dalam hal ini Praswad mengkritik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang gagal dalam memberantas korupsi tetapi masih dinyatakan lulus tes tertulis.
"Adanya calon-calon yang gagal menjalankan misi selama 5 tahun menjabat seperti Nurul Ghufron seharusnya menjadi ukuran bagi pansel dalam mengukur jawaban tes tertulis yang bersifat jawaban terbuka," ujar Praswad kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/8) malam.
Praswad yang merupakan mantan penyidik KPK ini menganggap pansel seolah-olah lebih mementingkan aspek formil dibandingkan materiel dari jawaban-jawaban yang diberikan. Hal itu dibuktikan dengan meluluskan kandidat yang jelas gagal dalam memimpin lembaga antikorupsi.
"Pesimisme menjadi semakin mengemuka atas kondisi ini sehingga membuat publik tidak yakin akan menghasilkan pimpinan yang mampu memberikan gebrakan," kata dia.
Poin berikutnya Praswad menyoroti komposisi kandidat berlatar aparat penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan. Padahal, sasaran KPK adalah katalisator dalam penegakan hukum lembaga lain.
"Menjadi pertanyaan, sejauh mana pansel melihat independensi penegakan hukum KPK ke depan apabila hampir seluruh pimpinan KPK adalah penegak hukum dari institusi lainnya," ujarnya.
Praswad meyakini upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK tidak akan tercapai dengan melihat pola seleksi saat ini.
"Artinya apabila gaya bekerja pansel masih seperti ini, maka akan semakin jauh impian pengembalian KPK ke jalur sesungguhnya," katanya.
Sebelumnya terdapat empat anggota IM57+ Institute yang lolos seleksi administrasi dan mengikuti tes tertulis. Mereka atas nama Harry Muryanto selaku mantan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK; mantan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Giri Suprapdiono.
Mantan Kepala Training Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) Hotman Tambunan; dan mantan Kepala Bagian Rumah Tangga KPK Arien Marttanti Koesniar. Namun, hanya Giri yang dinyatakan lolos dan wajib mengikuti tes berikutnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyoroti mayoritas kandidat capim KPK berlatar belakang aparat penegak hukum yang dinyatakan lulus tes tertulis oleh pansel.
Peneliti ICW Diky Anandya mencurigai keberpihakan pansel kepada calon dengan latar belakang tersebut.
"Ini tentu menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat tentang independensi pansel dalam bekerja. Potensi keberpihakan yang berlebih pada aparat penegak hukum disinyalir sedang terjadi pada proses seleksi kali ini," ujar Diky melalui keterangan tertulis, Kamis (8/8).
Menurut Diky, pansel masih meyakini 'mitos' yang sebenarnya keliru terkait keharusan aparat penegak hukum mengisi jabatan Pimpinan KPK.
Ia menambahkan pansel bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yakni Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 jika indikasi memberikan karpet merah terbukti. Adapun peraturan perundang-undangan itu telah memandatkan setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selanjutnya, kata Diky, keberadaan aparat penegak hukum pada level Pimpinan KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mengganggu independensi lembaga.
"Analoginya sebagai berikut, Pasal 11 UU KPK mengamanatkan bahwa lembaga antirasuah tersebut diminta untuk memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, bagaimana penegakan hukum KPK akan objektif jika komisionernya berasal dari lembaga penegak hukum?" ucap Diky.
Sedangkan menyangkut independensi, baik kandidat yang berasal dari Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung, Diky memandang setiap calon berpotensi memiliki loyalitas ganda. Sebab, saat kelak menjabat sebagai Pimpinan KPK, secara administratif kedinasan mereka masih berada di bawah kekuasaan lembaga terdahulu.
Atas kondisi tersebut, penanganan perkara di KPK dikhawatirkan tidak objektif.
"Lagipun, jika dipandang calon-calon dari kalangan penegak hukum memiliki kompetensi yang mumpuni, mengapa mereka tidak diberdayakan di lembaga asalnya?" kata Diky.
"Pada situasi ini, ketegasan pansel untuk menjawab keraguan masyarakat akan diuji," sambungnya.
Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul) Herdiansyah Hamzah menyoroti sejumlah nama yang diloloskan pansel.
Nama-nama itu tidak sesuai ekspektasi publik, bahkan cenderung mengecewakan. Pertama petahana Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
Menurut Castro- sapaan akrab Herdiansyah, kedua kandidat tersebut sudah gagal memimpin lembaga antirasuah di periode pertama.
"Keduanya gagal memimpin KPK, tidak patut diberikan kesempatan kedua," kata Castro kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/8).
Bagi Castro, haram memberikan ruang untuk kolega mantan Ketua KPK Firli Bahuri kembali memimpin.
Ia kemudian menyoroti nama Johan Budi yang saat ini duduk di Komisi III DPR RI mewakili Fraksi PDI-Perjuangan (PDIP).
"Yang jelas memiliki genealogi politik dari PDIP. Padahal, lembaga seperti KPK mestinya dijauhkan dari orang-orang yang berbau partai politik. Yang beraroma partai saja diharamkan, apalagi yang jelas-jelas anggota partai politik," ucap dia.
[Gambas:Infografis CNN]
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman menyatakan pihaknya sudah sejak awal pesimis dengan proses seleksi yang dilakukan pansel. Sebab, komposisi pansel lebih didominasi oleh unsur pemerintah bukan masyarakat.
"Saya pribadi termasuk dengan teman-teman di PUKAT itu termasuk yang enggak punya optimisme terhadap seleksi ini karena panitia seleksi didominasi oleh unsur pemerintah. Lima orang dari unsur pemerintah dan empat orang dari masyarakat. Empat orang tersebut juga masih banyak tanda tanya untuk mereka," kata Zaenur.
Menurutnya, proses seleksi pimpinan lembaga negara independen seperti KPK harus lebih banyak melibatkan masyarakat. Ia menegaskan kepentingan masyarakat harus diprioritaskan ketimbang kepentingan politik.
"Toh, nanti di ujungnya ada kewenangan presiden untuk memilih separuh dari yang ditetapkan oleh pansel, kemudian DPR memilih separuh dari yang ditetapkan oleh presiden," kata Zaenur.
Dengan kondisi ini, Zaenur pesimis kerja-kerja pemberantasan korupsi lima tahun ke depan akan berhasil memulihkan muruah dan kepercayaan terhadap KPK yang sudah hancur lebur diterpa berbagai masalah, termasuk dengan persoalan etik dan pidana pimpinannya.