Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyoroti mayoritas kandidat capim KPK berlatar belakang aparat penegak hukum yang dinyatakan lulus tes tertulis oleh pansel.
Peneliti ICW Diky Anandya mencurigai keberpihakan pansel kepada calon dengan latar belakang tersebut.
"Ini tentu menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat tentang independensi pansel dalam bekerja. Potensi keberpihakan yang berlebih pada aparat penegak hukum disinyalir sedang terjadi pada proses seleksi kali ini," ujar Diky melalui keterangan tertulis, Kamis (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Diky, pansel masih meyakini 'mitos' yang sebenarnya keliru terkait keharusan aparat penegak hukum mengisi jabatan Pimpinan KPK.
Ia menambahkan pansel bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yakni Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 jika indikasi memberikan karpet merah terbukti. Adapun peraturan perundang-undangan itu telah memandatkan setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selanjutnya, kata Diky, keberadaan aparat penegak hukum pada level Pimpinan KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mengganggu independensi lembaga.
"Analoginya sebagai berikut, Pasal 11 UU KPK mengamanatkan bahwa lembaga antirasuah tersebut diminta untuk memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, bagaimana penegakan hukum KPK akan objektif jika komisionernya berasal dari lembaga penegak hukum?" ucap Diky.
Sedangkan menyangkut independensi, baik kandidat yang berasal dari Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung, Diky memandang setiap calon berpotensi memiliki loyalitas ganda. Sebab, saat kelak menjabat sebagai Pimpinan KPK, secara administratif kedinasan mereka masih berada di bawah kekuasaan lembaga terdahulu.
Atas kondisi tersebut, penanganan perkara di KPK dikhawatirkan tidak objektif.
"Lagipun, jika dipandang calon-calon dari kalangan penegak hukum memiliki kompetensi yang mumpuni, mengapa mereka tidak diberdayakan di lembaga asalnya?" kata Diky.
"Pada situasi ini, ketegasan pansel untuk menjawab keraguan masyarakat akan diuji," sambungnya.
Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul) Herdiansyah Hamzah menyoroti sejumlah nama yang diloloskan pansel.
Nama-nama itu tidak sesuai ekspektasi publik, bahkan cenderung mengecewakan. Pertama petahana Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
Menurut Castro- sapaan akrab Herdiansyah, kedua kandidat tersebut sudah gagal memimpin lembaga antirasuah di periode pertama.
"Keduanya gagal memimpin KPK, tidak patut diberikan kesempatan kedua," kata Castro kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/8).
Bagi Castro, haram memberikan ruang untuk kolega mantan Ketua KPK Firli Bahuri kembali memimpin.
Ia kemudian menyoroti nama Johan Budi yang saat ini duduk di Komisi III DPR RI mewakili Fraksi PDI-Perjuangan (PDIP).
"Yang jelas memiliki genealogi politik dari PDIP. Padahal, lembaga seperti KPK mestinya dijauhkan dari orang-orang yang berbau partai politik. Yang beraroma partai saja diharamkan, apalagi yang jelas-jelas anggota partai politik," ucap dia.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman menyatakan pihaknya sudah sejak awal pesimis dengan proses seleksi yang dilakukan pansel. Sebab, komposisi pansel lebih didominasi oleh unsur pemerintah bukan masyarakat.
"Saya pribadi termasuk dengan teman-teman di PUKAT itu termasuk yang enggak punya optimisme terhadap seleksi ini karena panitia seleksi didominasi oleh unsur pemerintah. Lima orang dari unsur pemerintah dan empat orang dari masyarakat. Empat orang tersebut juga masih banyak tanda tanya untuk mereka," kata Zaenur.
Menurutnya, proses seleksi pimpinan lembaga negara independen seperti KPK harus lebih banyak melibatkan masyarakat. Ia menegaskan kepentingan masyarakat harus diprioritaskan ketimbang kepentingan politik.
"Toh, nanti di ujungnya ada kewenangan presiden untuk memilih separuh dari yang ditetapkan oleh pansel, kemudian DPR memilih separuh dari yang ditetapkan oleh presiden," kata Zaenur.
Dengan kondisi ini, Zaenur pesimis kerja-kerja pemberantasan korupsi lima tahun ke depan akan berhasil memulihkan muruah dan kepercayaan terhadap KPK yang sudah hancur lebur diterpa berbagai masalah, termasuk dengan persoalan etik dan pidana pimpinannya.
(ryn/fra)