ANALISIS

Waspada Manuver DPR dan Jokowi Usai RUU Pilkada Batal Disahkan

CNN Indonesia
Jumat, 23 Agu 2024 11:07 WIB
Setelah RUU Pilkada batal disahkan, masih ada waktu hingga masa pendaftaran pilkada. Apakah peluang menganulir putusan MK masih terbuka?
Massa aksi menolak RUU Pilkada berkumpul di depan kompleks Gedung MPR/DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2024). (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga mengimbau agar masyarakat Indonesia tetap mengawal muara putusan MK terkait pilkada.

Ia menyebut setidaknya upaya pengawalan itu harus dilakukan hingga selesai pendaftaran calon kepala daerah baik tingkat 1 maupun tingkat 2.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal itu perlu dilakukan karena tidak ada jaminan bahwa RUU Pilkada benar-benar dibatalkan. Apalagi pembatalan itu hanya disampaikan melalui konferensi pers," kata Jamiluddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (23/8).

Jamiluddin menilai masih ada peluang DPR RI tiba-tiba melakukan sidang Paripurna sebelum masa pendaftaran pada Selasa (27/8).

Ia menyebut kekhawatiran itu bisa saja terjadi bilamana berkaca pada kebiasaan DPR belakangan ini yang mengetok palu RUU menjadi beleid baru secara kilat. Ia mengatakan kasus RUU IKN dapat menjadi contoh.

"Jadi pimpinan DPR harus menyatakan secara tertulis bahwa pembatalan RUU Pilkada sudah final. Dengan begitu, tidak ada lagi dasar bagi DPR untuk mengakali RUU Pilkada menjadi UU," kata dia.

Jamiluddin kembali mengingatkan bahwa peluang DPR menganulir Putusan MK masih terbuka. Sebab, apa yang dilakukan DPR saat ini menurut dugaannya tidak murni kehendak para dewan.

Ia menduga pengesahan RUU Pilkada merupakan pesanan dari pihak eksternal. Namun dalam hal ini, DPR menurutnya bisa jadi tak dapat menolak karena pihak eksternal yang super kuat itu melibatkan ketua umum partai. Dengan cara itu, maka anggota DPR RI tak punya nyali menolaknya.

Jamiluddin enggan membeberkan dugaannya terkait sosok eksternal yang dimaksud. Namun ia meyakini masyarakat sudah dapat mengamati siapa pihak eksternal yang ia maksud.

"Karena itu, bila DPR RI gagal mengesahkan RUU Pilkada, pihak eksternal itu bisa saja melakukan manuver lain," jelasnya.



Di sisi lain, Jamiluddin beranggapan alasan DPR membatalkan RUU Pilkada bisa saja karena terdapat dua suara terpecah antara pemerintahan Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Prabowo menurutnya terlihat tidak ingin mengambil risiko dari aksi penolakan RUU Pilkada yang akan berimbas kepada dirinya nanti. Sebab, aksi massa itu bisa saja akan terus membesar bila RUU Pilkada tidak dibatalkan.

"Kalau itu terjadi, maka peluang Reformasi Jilid II sangat terbuka. Hal ini tentu tak dikehendaki Prabowo. Sebab, hal itu bisa saja akan membuat Prabowo tidak jadi dilantik pada 20 Oktober 2024," jelas Jamiluddin.

"Prabowo tentu akan murka bila hal itu terjadi. Untuk mencegah itu, Prabowo cepat tanggap dengan memerintahkan Dasco membatalkan RUU Pilkada," imbuhnya.

Lebih lanjut, berbicara mengenai celah hukum yang lain, Jamiluddin menyebut masih ada peluang untuk menganulir putusan MK melalui Perppu terkait Pilkada.

Perppu yang bisa saja diterbitkan Presiden Jokowi mengingat tenggat waktu pendaftaran yang sudah mepet. Dengan demikian, Jamiluddin menegaskan upaya menerbitkan Perppu masih sangat mungkin terjadi.

Namun ia pun menilai kekacauan akan semakin tak terkendali apabila Presiden memilih untuk mengeluarkan Perppu.

"Jadi, manuvernya bisa saja di luar DPR, lewat Perppu. Manuver di luar DPR itu kiranya tetap perlu diwaspadai rakyat Indonesia karena yang dihadapi adalah orang nekat yang menghalalkan semua cara," ujar Mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.

Dengan segala kemungkinan yang masih bisa terjadi, Jamiluddin menitipkan pesan agar masyarakat harus terus memelototi gerak gerik DPR RI dan Istana. Sebab, yang berpeluang dapat mementahkan putusan MK hanya dua lembaga tersebut.

Ia pun menyerukan agar upaya turun ke jalan dapat tetap dilakukan hingga pendaftaran calon selesai. Sebab, kritik lewat akademisi hingga seruan di media sosial menurutnya kurang mempan melawan kehendak pemerintah.

"Hal itu perlu dilakukan karena DPR dan Istana hanya takut bila massa turun dalam jumlah besar. Tekanan melalui massa dalam jumlah besar tampaknya jauh lebih efektif untuk meredam DPR dan Istana agar patuh melaksanakan putusan MK," ujarnya.

Sebab apabila tidak ada pengesahan atas RUU Pilkada atau Perppu tentang Pilkada tidak diterbitkan, maka otomatis KPU akan tunduk pada Putusan MK. KPU mau tidak mau akan menyusun PKPU mengacu pada Putusan MK.

"Kalau ambisi politik DPR dapat diredam, maka RUU Pilkada tidak akan disahkan. Perppu juga berpeluang tidak akan terbit bila Istana terus ditekan dengan kekuatan massa," pungkasnya.

(khr/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER