Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia tidak hanya kaya akan keanekaragaman hayati, tetapi juga memiliki peran krusial dalam mitigasi perubahan iklim global.
Dengan menguasai sekitar 80% cadangan karbon dunia, terutama melalui 3,3 juta hektar lahan mangrove yang berpotensi menyimpan sekitar 20% dari simpanan karbon global, Indonesia menjadi benteng utama dalam penyerapan emisi karbon.
Potensi ini menjadikan Indonesia pemain kunci di pasar karbon global, sekaligus menegaskan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu langkah signifikan yang sedang dilakukan adalah proyek konservasi mangrove di Segara Anakan, Cilacap. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang kritis, tetapi juga untuk menyerap karbon dalam jumlah besar, sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat setempat.
Aktivis muda dari Tangerang, Talitha Untono, memegang peran penting dalam proyek ini. Minat Talitha terhadap advokasi iklim dimulai sejak di bangku sekolah, namun berkembang pesat saat ia magang di sebuah startup teknologi iklim di Indonesia.
Di sana, ia menyadari bahwa advokasi iklim tidak hanya bergantung pada solusi besar, melainkan juga memerlukan upaya berbasis akar rumput serta kolaborasi dengan masyarakat yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan.
Talitha terlibat langsung dalam proyek konservasi mangrove di Segara Anakan, Cilacap. Proyek ini bertujuan memulihkan ekosistem mangrove yang terancam oleh praktik budidaya yang tidak berkelanjutan.
Dengan target menyerap lebih dari 500.000 ton CO2, proyek ini juga memberi dukungan bagi masyarakat lokal yang bergantung pada ekosistem mangrove untuk mata pencaharian mereka.
"Mangrove berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi kita dari ancaman gelombang besar. Namun, praktik ekonomi ekstraktif sering kali mengancam keberlanjutan mangrove yang butuh waktu lama untuk pulih dan tumbuh kembali," jelasnya.
"Kami berupaya menjaga keseimbangan antara konservasi dan ekonomi dengan membangun sistem ekonomi berkelanjutan, seperti silvofishery, serta memanfaatkan teknologi untuk monitoring," imbuh dia.
Menurut Talitha, teknologi berperan penting dalam mempercepat upaya mitigasi perubahan iklim yang semakin mendesak.
"Teknologi bukanlah pengganti proses alami, melainkan alat yang dapat mendukung pelestarian. Misalnya, penggunaan drone di Cilacap membantu kami dalam memetakan dan memonitor ekosistem sehingga strategi mitigasi bisa lebih optimal," tambahnya.
Dirinya juga menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam interaksinya dengan warga desa di Cilacap, ia mendapatkan banyak inspirasi, seperti nelayan yang berinovasi dengan budidaya akuakultur dan visi kepala desa untuk mengembangkan ekowisata.
"Kisah-kisah ini semakin memperkuat keyakinan saya bahwa praktik berkelanjutan tidak hanya menjaga alam, tetapi juga menyejahterakan masyarakat," ujarnya.
Sebagai seorang remaja yang sudah aktif dalam advokasi lingkungan, Talitha percaya bahwa generasi muda memiliki peran krusial dalam perubahan positif.
"Generasi muda dapat menjadi inovator dan pelopor dalam advokasi iklim, bahkan melalui langkah-langkah kecil seperti memanfaatkan platform digital untuk mendorong perubahan positif," kata dia.
Talitha adalah bukti nyata bahwa anak muda Indonesia dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global.
Melalui dedikasi dan inovasi, ia tidak hanya memberikan harapan bagi masa depan lingkungan Indonesia, tetapi juga menunjukkan bahwa masa depan keberlanjutan ada di tangan generasi muda.
Proyek konservasi di Cilacap adalah salah satu dari banyak upaya yang menunjukkan bahwa kolaborasi antara masyarakat, alam, dan teknologi dapat menciptakan dunia yang lebih baik.
(adv/adv)