Aan memandang satu-satunya yang bisa membentengi para hakim untuk tidak tergiur melakukan korupsi adalah integritas yang ada di dalam diri masing-masing. Di sisi lain, ia menilai niat jahat hakim untuk menerima suap dari pihak berperkara juga bisa timbul dikarenakan tidak ada keseriusan penegakan hukum dan sanksi dari Badan Pengawas MA.
Dalam kasus ini misalnya, Aan mengatakan publik sudah ramai mencium hal yang ganjil pada saat ketiga majelis hakim memberikan vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Kecurigaan itu juga diamini oleh Komisi Yudisial (KY) yang merekomendasikan pemberian sanksi pemecatan ketiga hakim kepada MA.
Berdasarkan hasil investigasi KY, ketiga hakim itu dinilai terbukti membacakan fakta hukum yang berbeda dalam persidangan dengan salinan putusan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sehingga melanggar kode etik dan pedoman perilaku dengan klasifikasi tingkat pelanggaran berat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sementara MA sendiri kita lihat bersama belum bergerak pada waktu itu. Rekomendasi KY untuk diberhentikan tidak langsung direspons oleh MA sebagai lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi," jelasnya.
Ia lantas menyoroti pemberian sanksi pemberhentian sementara yang baru dilakukan oleh MA setelah Kejaksaan Agung resmi menetapkan sebagai tersangka dan langsung melakukan penahanan terhadap ketiga hakim tersebut.
"Ini kan berarti menunjukkan bahwa terlalu lamban penegakan hukumnya. Padahal indikasinya sudah ada sejak dilaporkan oleh KY ataupun menjadi sorotan oleh Komisi III DPR, tapikan terlalu lambat," tuturnya.
"Kalau ini lambat ditangani, maka para hakim itu merasa dilindungi oleh institusinya dan akhirnya merasa aman mau melakukan pelanggaran. Tidak ada masalah karena ada yang melindungi tanda kutip dalam hal ini," sambungnya.
Oleh karenanya, Aan mendorong agar Badan Pengawas MA dapat melakukan perbaikan ataupun reformasi secara menyeluruh terhadap para hakim dalam rangka penegakan etika maupun hukum. Tanpa ada perbaikan secara menyeluruh, ia mengaku pesimis aksi suap yang dilakukan hakim dapat sepenuhnya dihapuskan.
"Hukuman terhadap pelanggaran etik maupun pelanggaran pidana, itu harus cepat direspon oleh Mahkamah Agung agar hakim-hakim yang mempunyai niatan nakal tidak berani dan mengurungkan niatnya," ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga meminta agar para aparat penegak hukum (APH) baik dari KPK, Kejaksaan Agung, maupun Kepolisian untuk dapat bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi yang melibatkan unsur-unsur pengadilan.
"Saya kira apa yang ada saat ini hanyalah permukaan gunung es, yang kelihatan sedikit. Tapi yang ada di dalamnya itu seberapa besar, ini yang harus ada kesungguhan dari APH untuk mengusut tuntas," tuturnya.
"Kalau tiga kekuatan penegak hukum ini bisa kolaborasi dan memainkan peran penting, tentunya ini diharapkan bisa menekan niat untuk berbuat jahat dalam bentuk tindak pidana korupsi maupun penyuapan," tegasnya.
(tfq/isn)