Pemerintah di bawah kepresidenan Prabowo Subianto dinilai sedang mencari terobosan atau kebijakan untuk memberi 'karpet merah' terhadap koruptor. Setelah merencanakan pemberian amnesti asal kerugian keuangan negara dikembalikan, kali ini pemerintah menyampaikan opsi lain yakni pengenaan denda damai untuk kasus korupsi.
Dalam keterangan tertulisnya, Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas menyatakan hal itu dimungkinkan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021.
"Tanpa lewat presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu," ujar Supratman dalam keterangan resminya tersebut, Senin (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sejumlah pengamat dan pakar hukum menilai pernyataan Supratman selaku menteri Prabowo tersebut keliru. Pasalnya pada Pasal 35 ayat 1 UU Kejaksaan dengan tegas mengatur denda damai hanya bisa diterapkan untuk tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan dan cukai. Sedangkan penyelesaian kasus korupsi tetap mengacu pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Lebih dari itu, sejumlah pengamat dan pakar hukum menilai usul yang disampaikan Supratman tersebut berbahaya karena mengabaikan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
![]() |
Merespons pernyataan Menkum Supratman itu, Dosen hukum pidana Universitas Tarumanegara Mochamad Praswad Nugraha menegaskan denda damai tidak bisa diterapkan dalam tindak pidana korupsi karena merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi, tutur dia, telah mengakibatkan kerusakan yang sangat luar biasa bahkan bisa meruntuhkan negara.
"Ini bukan soal kerugian kayak misalnya tawar-menawar untung rugi, seperti jual-beli di pasar, tapi ini terkait dengan keselamatan bangsa dan negara," ungkap dia saat dihubungi, Jumat (27/12).
"Saya pikir ini yang belum dipahami oleh pemerintahan Bapak Prabowo maupun menteri-menteri kabinetnya, sejahat apa korupsi ini bisa menghancurkan sebuah negara," sambung eks penyidik KPK tersebut.
Atas dasar itu, Praswad meminta Supratman untuk membaca dan belajar lagi. Sebab, apa yang dilakukan saat ini memengaruhi arah kebijakan pemberantasan korupsi di masa mendatang.
"Tentu saja ini harus berhati-hati sekali karena ini kita berada di persimpangan jalan, jalan pemerangan korupsi yang kita pilih hari ini itu akan menentukan ke arah mana Indonesia ke depan, generasi-generasi kita ke depan akan kita bangun ke arah mana," ucap Praswad.
Untuk itu, ia meminta Presiden Prabowo sebagai panglima tertinggi dalam pemberantasan korupsia agar tidak tergoda dan terpengaruh menerapkan denda damai maupun amnesti untuk mempertimbangkan secara matang pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi.
"Jangan sampai semua orang nanti berpikir bahwa silakan saja korupsi nanti kalau ketangkap kita bayar denda damainya. Ini yang sangat berbahaya karena kejahatan korupsi bisa semakin merajalela dan menjamur di tengah masyarakat. Semuanya akan melakukan pungli dari hulu ke hilir, dari mulai istana sampai ke RT-RW akan melakukan pemerasan, melakukan pungli karena tertanam di benak masyarakat bahwa silakan korupsi nanti kalau ketahuan kita bayar dendanya. Kalau enggak ketahuan lanjut terus. Ini sangat berbahaya sekali," katanya.
Sehari sebelumnya, Eks Menko Polhukam Mahfud MD menilai wacana yang diumumkan Menkum Supratman itu salah kaprah lantaran kasus korupsi tak bisa diselesaikan secara damai.
"Saya kira bukan salah kaprah. Salah beneran. Kalau salah kaprah itu biasanya sudah dilakukan, terbiasa meskipun salah. Ini belum pernah dilakukan kok. Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai," kata Mahfud di Kantor MMD Initiative, Jakarta, Kamis (26/12).
Mahfud mengatakan UU Tipikor dan aturan dalam hukum pidana tidak membenarkan penerapan denda damai untuk kasus korupsi.
Oleh karena itu, dia heran ketika menterinya Prabowo mencari dalil pembenar dengan merujuk UU Kejaksaan untuk menerapkan denda damai.
Mahfud menjelaskan penerapan denda damai di UU Kejaksaan hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, bukan untuk tindak pidana korupsi. Hal ini terkait dengan pelanggaran tentang bea cukai, perpajakan, dan kepabeanan.
"Nah di situ kalau ada orang melanggar pajak atau bea cukai, itu tawar-menawar dulu. Oh kamu seharusnya bayar Rp100 miliar, kok hanya membayar Rp95 Miliar," kata eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
"Dan itu jelas, ada mekanismenya yaitu dibuat oleh instansi terkait dalam hal ini kementerian keuangan lalu minta izin kejaksaan agung. Minta izin ke Jaksa Agung, jelas tuh prosedurnya. Angkanya jelas, tidak diam-diam," tambahnya.
Lihat Juga : |