Jakarta, CNN Indonesia --
DPR RI kini bisa memberikan rekomendasi untuk memberhentikan sejumlah pimpinan lembaga atau pejabat negara pilihan lewat aturan Tata Tertib (Tatib) baru yang disahkan pada Selasa (4/2) lalu.
Ketentuan DPR bisa mengevaluasi para pimpinan lembaga atau pejabat yang sudah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) lalu direkomendasikan dicopot itu tertuang dalam Pasal 228A Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah direvisi dan disahkan di Paripurna tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal itu menyebutkan, "Dalam rangka menjaga marwah dan kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR".
Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan menjelaskan lewat revisi terbaru, DPR kini bukan hanya bisa merekomendasikan penunjukan pejabat di sejumlah instansi tersebut, namun juga mengevaluasinya. Dia menambahkan, evaluasi yang dimaksud termasuk rekomendasi pemberhentian.
"Ya itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR itu," kata Bob.
Rekomendasi penunjukan pejabat selama ini diatur dalam Pasal 226 ayat 2 Tatib DPR. Sejumlah instansi atau lembaga yang penunjukan pejabatnya melalui mekanisme di DPR itu seperti hakim MK, MA, Komisioner KPK, Kapolri, hingga Panglima TNI.
Menurut Bob, rekomendasi pengangkatan dan pemberhentian akan bersifat mengikat. Artinya, DPR hanya bisa memberikan rekomendasi dan keputusan akhir tetap diserahkan kepada lembaga terkait.
"Kewenangan selanjutnya diberikan kepada pemilik kewenangan," kata dia.
Namun, Bob tidak mengungkap dengan jelas saat ditanya soal indikator penilaian seorang pejabat perlu dievaluasi. Prinsipnya, kata dia, evaluasi kinerja itu dilakukan agar DPR tidak lepas tangan.
Menurut Bob, kewenangan evaluasi diberikan untuk meningkatkan pola pengawasan oleh DPR.
"Karena pola pengawasan itu bukan serta merta ketika diberikan rekomendasi hasil fit and proper test itu lepas, tidak. Nah, DPR sebagai representasi rakyat berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif," kata Bob.
Baca halaman selanjutnya
Namun, sejumlah pakar hukum tata negara mengkritisi materi tatib baru DPR yang bisa mengevaluasi hingga merekomendasikan pencopotan pejabat negara pilihan tersebut.
Dosen Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai anggota legislatif keliru karena hendak mengevaluasi pimpinan lembaga seperti MK hingga KPK lewat Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tatib DPR tersebut. Ia menjelaskan tatib DPR tidak bisa menegasikan keberadaan undang-undang.
"Kalau misalnya konteksnya adalah pimpinan KPK atau hakim MK yang diusulkan oleh DPR, yang sudah ditetapkan oleh Keppres [Keputusan Presiden], kan tidak mungkin kewenangan untuk mencopot berdasarkan hasil evaluasi itu hanya berdasarkan tatib. Kalau kita bicara soal cara berpikir perundang-undangan yang benar, dalam hierarki, ya harusnya undang-undang yang dijadikan sebagai dasar, bukan tatib," ujar Herdiansyah kepada CNNIndonesia.com melalui pesan suara, Selasa (4/2).
Ia pun menanyakan motif dari DPR mengevaluasi pimpinan instansi atau lembaga negara yang dipilih berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Ia mencurigai ada semacam upaya untuk menyandera.
"Jadi keliru. Enggak bisa Tatib itu dijadikan sebagai dasar untuk menegasikan keberadaan Undang-undang. Salah besar cara pikir anggota-anggota DPR itu," kata Herdiansyah.
Ada pula pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti yang berpendapat isi tatib DPR tersebut keliru.
Lewat unggahan X dia mengatakan, "Itu ngaco. Pemilihan hakim dan komisioner itu rezim pemilihan.Bukan pemberian mandat,yg bs dicabut kapan saja. Begitu sdh dipilih,komisioner/ hakim diatur di UU masing2. Peraturan DPR tidak bisa melanggar UU.Bahkan ini melanggar konstitusi."
Dengan nada menyindir, pakar hukum tata negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar mengimbau para anggota DPR belajar lagi tentang tiga pelajaran dasar di ilmu hukum dan ilmu politik.
"Yg bikin & setuju ini sebaiknya belajar kembali setdknya tiga pelajaran dasar di semester awal anak FH/ilmu politik; 1. Teori kewenangan; 2. Teori tentang pemisahan kekuasaan dan; 3. Teori Hirarki Per-UU. Saya yakin anak2 semester awal bisa jelaskan ini secara sgt baik ke beliau2," demikian unggahannya di X.
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menyatakan substansi norma pada Pasal 228A tatib DPR yang baru itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 19445.
Dia mengatakan frasa 'pengawasan' menurut UUD ini ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur UUD, memastikan kontrol dan keseimbangan antar masing-masing cabang kekuasaan, dan tidak boleh ada pengaturan lain yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan UUD maupun UU lainnya.
"Norma Pasal 228A juga melampaui puluhan UU sektoral lain, yang justru memberikan jaminan independensi pada MA, MK, BI, KPK, KY dan lainnya, yang berpotensi dibonsai oleh DPR dengan kewenangan evaluasi yang absurd," kata dia dalam keterangannya, Kamis (6/2).
Oleh karena itu, dia menilai DPR gagal memahami makna frase pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20A (1) UUD 1945, di mana fungsi pengawasan yang melekat adalah mengawasi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang.
"Artinya, yang diawasi DPR adalah pelaksanaan UU bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis," kata Hendardi.
[Gambas:Photo CNN]