Dalam agenda Munas Ulama NU itu, PBNU juga menetapkan lima tema rasionalisasi hukum Islam.
Pertama, murur dan tanazul. Dalam Munas kali ini ditetapkan hukum dibolehkannya murur dari Muzdalifah dan tanazul dari Mina. Keduanya merupakan pengganti dari pelaksanaan mabit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan, bolehnya murur dan tanazul setidaknya disebabkan dua aspek. Aspek pertama yakni udzur syar'i yang melekat pada diri mukallaf menyangkut risiko tinggi (risti), lansia, difabel, serta pendamping.
Aspek kedua yakni lokasi mabit yang tak sebanding dengan jumlah jamaah haji. Kedua aspek ini jika diabaikan berpotensi mengganggu kekhusyukan dan kenyamanan ibadah haji.
"Karena itu tidak dimungkinkan untuk diselenggarakan sepenuhnya mabit di Muzdalifah dan mabit di Mina," kata Moqsith.
Kedua, negara boleh memungut pajak. Dalam konteks negara seperti Indonesia pajak diperbolehkan dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, pembolehan negara memungut pajak harus didasarkan pada kebutuhan yang besar (hajah). Kedua, manfaat pajak harus berakhir pada kesejahteraan rakyat.
"Tetapi pajak yang dipungut dari warga negara itu penggunaannya harus untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat, harus dikembalikan peruntukannya kepada rakyat," katanya.
Oleh karena tak semua rakyat memiliki potensi untuk membayar pajak, maka forum Munas NU 2025 mengusulkan agar pemerintah menghitung penghasilan sumber daya alam sebagai acuan untuk membagi tarif pungutan pajak.
Ketiga, terkait alasan dan tujuan zakat. PBNU juga mengesahkan persoalan terkait illat (alasan) dan maqashid (tujuan) zakat.
Illat zakat ditentukan oleh kekayaan seseorang (madhinnatul ghina), selain objek pajak. Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah Munas NU 2025 merumuskan kadar kaya (al-ghina) adalah kepemilikan harta yang mencapai satu nishab sekaligus bertahan dalam kurun setahun (haul).
Perumusan ulang kausa hukum ('illat) ini dilatarbelakangi adanya pertambahan objek zakat, berikut konteksnya.
Forum menetapkan rasionalisasi hukum kontrak politik atau sumpah jabatan. Perjanjian antara pemimpin dan rakyat dalam konteks negara bangsa diserupakan dengan baiat.
Alasannya, kontrak politik atau sumpah jabatan berisi kesetiaan rakyat kepada pemimpin sekaligus komitmen pemimpin untuk melayani rakyat.
Hal ini sebagaimana konsep baiat di masa Nabi Muhammad. Namun, kepatuhan rakyat mesti berdiri dalam kebenaran, bukan kemaksiatan.
"Jadi komitmen antara ra'i (pemimpin) dan ra'iyah (warga negara) ini komitmen untuk menjalankan kewajiban masing-masing," katanya.
Kelima, terkait status muslim di negara mayoritas Non-Muslim
Soal status muslim di negara mayoritas Non-Muslim juga ditetapkan dalam forum Munas NU 2025 melalui Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah.
Moqsith menyatakan status Muslim semacam ini adalah warga negara (muwathin). Konsekuensinya, memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Umat Islam wajib mematuhi regulasi di negara yang didiami, selama regulasi tersebut tidak menabrak prinsip-prinsip agama Islam dan mengandung kemaslahatan.