Yogyakarta, CNN Indonesia --
Keberadaan Patroli Pengawalan (Patwal) Lalu Lintas belakangan jadi sorotan publik buntut aksi petugas voorijder yang dinilai arogan kala mengawal mobil RI 36.
Mobil berpelat RI 36 itu adalah milik Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad. Baik Raffi maupun Polda Metro Jaya telah mengklarifikasi insiden patwal dengan sopir taksi kala mengawal mobil RI 36 itu beberapa waktu lalu.
Tak lepas dari polemik fungsi patwal untuk pejabat negara, penggunaan voorijder di jalanan aspal juga disorot publik lantaran dianggap masih sering disalahgunakan. Bahkan sejumlah pakar termasuk dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat mendesak agar penggunaan patwal dan pengamanan, khususnya bagi pejabat untuk ditertibkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu pun disepakati Elanto Wijono, seorang aktivis asal Yogyakarta, DIY. Di Kota Pelajar itu, Elanto dikenal karena aksinya yang kerap turun ke jalan dan mengadang patwal diduga tak sesuai peruntukkannya, termasuk mengawal bus pariwisata. Menegur aksi patwal 'semena-mena' itu ternyata sudah dilakukan pria asal Umbulharjo itu selama hampir satu dekade terakhir.
Aksi terakhirnya yang terekam di media sosial X adalah pada 25 Januari di Sleman dan 24 Januari lalu di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta.
Dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu, Elanto mengatakan dia melakukan hal tersebut berdasarkan aturan yang tercantum dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang pada dasarnya mewajibkan pengguna jalan mendahulukan kendaraan yang masuk dalam kategori prioritas.
Persoalannya, berulangkali Elanto menangkap basah patwal ini membukakan jalan iring-iringan kendaraan diduga di luar ketentuan seperti rombongan bus pariwisata, dia mengatakan dalih polisi yang disampaikan pun tetap sama yakni 'Diskresi'.
"Ada penyalahgunaan karena penggunaan diskresi yang tidak pada tempatnya. Diskresi yang tidak berintegritas. Diskresi ini menjadi alasan yang klasik yang sejak dulu selalu digunakan," kata Elanto kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (8/2).
Alasan klasik untuk 'diskresi yang tidak berintegritas' itu, kata Elanto, diduga karena menggunakan celah dalam Pasal 134 huruf g UU LLAJ. Pasal 134 huruf g itu mengatur konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu mendapat 'hak istimewa' dan bisa didahulukan di jalan menurut pertimbangan petugas Polri.
Dalam penjelasan Poin G pada pasal juga sudah diuraikan bahwa 'kepentingan tertentu' yang dimaksud adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, meliputi: kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk penanganan bencana alam.
 Elanto Wijoyono, aktivis asal Yogyakarta yang kerap turun ke jalan mengadang patwal tak sesuai peruntukkannya. (CNNIndonesia/TUnggul) |
"Istilah diskresi sudah mulai dikritisi oleh publik, sekarang mereka banyak menggunakan diksi melayani, pelayanan atas permohonan masyarakat. Dalilnya ketika masyarakat mengajukan permohonan ya, kami sebagai apparatur eh, akan membantu," kata Elanto.
"Jadi bahasa-bahasa yang coba dilunakkan atau bahasa yang saya yakin itu sengaja untuk dipilih untuk membangun narasi yang seolah-olah bisa lebih positif dan diterima oleh publik. Padahal sekali lagi setiap permohonan dari masyarakat kepada aparatur, tentu saja itu kan harus melalui proses penilaian oleh aparatur," sambung pria yang kini tengah menempuh program magister di UGM itu.
Padahal, landasan argumen pemberian diskresi ini sendiri juga tidak jelas. Elanto pun merasa tak berlebihan bila menyebut ketentuan itu potensial koruptif.
"Yang harus dicermati oleh publik apakah kemudian diskresi yang digunakan itu adalah hasil dari penilaian yang utuh? Apakah kemudian aparatur bisa menggunakan diskresi itu memang secara berintegritas, karena diskresi itu juga akan menjadi ruang yang sangat rentan disalahgunakan, apalagi ketika kemudian ada konflik kepentingan di situ. Apalagi ketika kemudian ada indikasi transaksional," paparnya.
Indikasi transaksional itu memang tak pernah Elanto benar-benar buktikan. Tapi, beberapa peristiwa yang ia hadapi paling tidak bisa memberi sketsa atau sebuah benang merah kepada masyarakat ihwal kecurigaannya tersebut.
Baca halaman selanjutnya.
Elanto pernah punya pengalaman pada Juli 2022 silam kala ia menegur patwal yang mengawal rombongan bus melintasi Jalan Laksda Adi Sucipto hingga Jalan Jenderal Sudirman. Singkat cerita, mediasi dilakukan oleh Polresta Yogyakarta.
Elanto bilang, kala itu operator tur keberatan ketika dia meminta tak ada patwal yang mengiringi perjalanan selama di Yogyakarta. Alasannya, mereka khawatir dicap wanprestasi oleh pengguna jasa.
"Ketika bicara wanprestasi, berarti memang ada kerjasama di situ, ada perjanjian, yang di dalamnya menjanjikan ada fasilitas pengawalan selama di Jogja. Walaupun nilainya nggak mereka sebutkan," kenang dia.
"Jadi kenapa saya bilang indikasi praktik korupsi itu bisa terjadi di dalam pengawalan yang kemudian bisa disebut bisnis pengawalan, banyak tour operator terang-terangan juga menawarkan jasa pengawalan dari paket perjalanan wisatanya," lanjut Elanto.
Terkait dugaan penyalahgunaan patwal, Bagi Elanto, sama saja dengan korupsi.
Dia menilai konsep korupsi juga mencakup konflik kepentingan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan memakai anggaran yang semestinya dialokasikan untuk kerja-kerja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Elanto jelas melihat banyak hak publik dikorbankan demi kelancaran mobilitas kelompok yang tak berhak mendapat pengawalan Polri. Oleh karenanya, dia meminta kepolisian berbenah melakukan pengendalian internal. Bahkan kalau perlu Div Propam dan Kompolnas turun tangan demi menjaga semangat dari Pasal 134 huruf g UU LLAJ ini.
"Memastikan bahwa manage tata kelola sehingga manajemen fungsi-fungsi aparat termasuk dalam hal ini patwal itu bisa sesuai dengan tugas fungsinya, potensi-potensi penyalahgunaan itu sebenarnya bisa dihindari," katanya.
[Gambas:Photo CNN]
Nama Elanto mulai dikenal luas publik, terutama di Jogja, sejak ia mengadang rombongan 'Moge' Harley Davidson ber-patwal medio 2015 silam. Beberapa waktu terakhir, dia masih cukup sering membagikan aktivitasnya menyegat pengawalan bus-bus pariwisata yang melintas di jalanan Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Seperti pada 25 Januari 2025 petang lalu, dia mengadang mobil patwal Polres Purworejo, Jawa Tengah yang mengawal rombongan bus di Jalan Palagan, Sleman.
Sehari sebelumnya, Elanto memberhentikan patwal Ditlantas Polda DIY yang mengawal rombongan bus wisata saat melintasi Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta.
Dalam keterangannya beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menegaskan pada dasarnya menggunakan sarana dan prasana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang.
Atas dasar itu, dia mengatakan tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas.
Patwal yang merupakan kewenangan Polri mengawal konvoi kendaraan VIP, iring-iringan bantuan kemanusiaan, atau kendaraan prioritas lainnya seperti pemadam kebakaran dan ambulans. Oleh karena itu, apabila ada oknum yang memberikan pengawalan lalu lintas di luar ketentuan peraturan perundang-undangan atau transaksional, pihaknya merekomendasikan untuk disanksi Polri.
"Oknum aparat penegak hukum yang mengawal kegiatan tertentu karena menerima sejumlah uang juga harus ditertibkan," kata Djoko.
Merujuk laman resmi Polri, terdapat sejumlah kategori atau kendaraan yang digunakan untuk keperluan tertentu yang berhak mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam aturan itu, pengguna jalan berkewajiban mendahulukan kendaraan yang masuk dalam kategori prioritas. Berikut urutannya:
1. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas.
2. Ambulans yang mengangkut orang sakit
3. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas
4. Kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia
5. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara
6. Iring-iringan pengantar jenazah
7. Konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat
8. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di sisi lain, Direktur Penegakan Hukum (Dirgakkum) Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigjen Raden Slamet Santoso mengatakan sesuai aturan perundang-undangan yang ada para pejabat setingkat menteri yang masuk dalam kategori VVIP dan VIP berhak mendapatkan prioritas pengawalan.
"Sesuai dengan aturan perundang-undangan, untuk pejabat VVIP dan VIP mendapat prioritas pengawalan," ujarnya kepada wartawan, Jumat (10/1).