Solusi pertama ialah penerapan konsep Zero Delta Q yang di mana setiap bangunan baru tidak boleh menambah debit air baik ke drainase maupun ke sungai.
Ia menyatakan hal itu penting dilakukan, bahkan sudah menjadi isu bersama sedunia yang menjadi salah satu isu bahasan di World Water Forum (WWF) di Bali beberapa waktu lalu. Lalu solusi kedua ialah pembangunan polder yang berfungsi sebagai kolam retensi. Puarman menyebutnya dengan sebutan 'Polder tebus dosa'.
Ia meminta seluruh perumahan yang berdiri di DAS Kali Bekasi untuk membangun polder tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa polder tebus dosa? Sudah terlanjur berdiri nih perumahan. Kan enggak mungkin dibongkar ya? Nah, bagaimana solusinya? Solusinya adalah mereka harus membangun polder," kata dia.
"Mereka harus membangun polder yang seimbang dengan penambahan debit air yang mereka lakukan. Contoh, mereka ada 10 perumahan. 10 perumahan itu menambah debit air ke sungai, taruh lah 100 kubik gitu kan. Nah, mereka harus bangun polder gitu kan, dengan kapasitas tampung setara dengan itu," imbuhnya.
Lihat Juga : |
Lalu, solusi ketiga ialah secepatnya melakukan percepatan normalisasi Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas. Puarman menjelaskan normalisasi itu terdiri atas tiga bagian yang meliputi pengerukan sungai, pelebaran sungai, dan penanggulan pembangunan.
Kemudian, ia juga meminta pemerintah melanjutkan normalisasi Kali Bekasi yang kini tertunda.
"Kali Bekasi itu ada tujuh paket yang sudah direncanakan tempo hari. Tapi baru jalan satu. Nah, kedepannya belum jelas," ucapnya.
Ia mengatakan tujuh paket normalisasi Kali Bekasi itu dicanangkan setelah banjir menerjang di Juni 2020. Sejumlah instansi pemerintah pun bertemu dan menelurkan Rencana Aksi Bersama mengatasi banjir se-Jabodetabek oleh Gubernur Jawa Barat, Gubernur DKI, Gubernur Banten kala itu.
"Kesepakatannya adalah akan dilakukan program mengendalikan banjir secara menyeluruh di Jabodetabek dengan biaya dari Kementerian PUPR. Tapi, penyiapan lahannya oleh Pemda masing-masing," ujar Puarman.
Namun, dalam proses peyiapan lahan ini mandeg di pemerintah daerah masing-masing. Puarman mengatakan hal itu terjadi karena keterbatasan dana. Ia pun mengusulkan jika memang pemerintah daerah terkait tidak mampu, maka pemerintah pusat harus siap menggelontorkan dana untuk pembebasan lahan.
"Nah, Pemda nanti membantu dampak-dampak sosialnya aja. Pada saat membebaskan, kalau ada gejolak-gejolak, itu Pemda yang menjawab. Tapi dalam hal pembayaran, dalam hal keuangan, usul saya itu dikembalikan ke pusat," ucapnya.
Ia pun berpesan ke pemerintah pusat yang kini gencar menerapkan efisiensi anggaran agar tak melakukan pemangkasan anggaran yang berhubungan dengan pengendalian banjir. Ia menegaskan bahwa hal itu menyangkut ratusan ribu masyarakat yang menderita apabila terjadi banjir.
Solusi kelima ialah mengubah pola operasi di Bendung Bekasi. Menurutnya, pola operasi Bendung Bekasi yang diterapkan hari ini sudah tidak cocok.
"Supaya di Bendung Bekasi itu kan kepentingan penyediaan air baku air minum ya. Supaya penyediaan baku air minum tidak mengorbankan kepentingan masyarakat untuk tidak banjir. Nah, dicari nanti keseimbangannya," ujar dia.
Lalu solusi yang terakhir ialah pemerintah harus waspada terhadap peringatan dini cuaca dan sering menerapkan operasi modifikasi cuaca (OMC). Ia menyebut langkah itu terbukti ampuh sebagai upaya preventif dalam menghadapi banjir. Ia mencontohkan pada awal Desember 2024 lalu, BMKG telah memperingatkan potensi cuaca ekstrem.
"Karena ada peringatan dari BMKG. Pemerintah DKI sama BMKG waktu itu melakukan modifikasi cuaca, makanya selama bulan Desember dan Januari itu tidak ada banjir," ucap Puarman.
Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Publik Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Indonesia (IAP), Arif Gandapurnama menyatakan pemerintah harus mengambil langkah serius dalam mengatasi persoalan banjir.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tak bisa hanya mengambil langkah reaktif seperti pemberian bantuan ke warga terdampak saja saat sudah terjadi banjir.
"Seperti mitigasi untuk aksi perubahan iklim. Cuman ternyata hal ini belum cukup populer," ucap Arif.
Kemudian, ia juga menekankan pentingnya manajemen penataan ruang. Menurutnya, pemerintah harus mengoptimalisasi manajemen penataan ruang ini.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Senior Data and GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi menjelaskan solusi dari persoalan ini pun cukup rinci di setiap bagian kali. Pertama, di bagian hulu diperlukan penataan ulang. Harus diperjelas mana area yang merupakan daerah resapan.
Pada pokoknya, tata ruang di bagian hulu Kali Bekasi harus ditata ulang, perizinan di sana juga harus di-review kembali. Lalu di bagian tengah sungai, ialah pengelolaan sampah yang harus dijadikan perhatian khusus oleh seluruh pihak.
Ananda menekankan bahwa sampah juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab banjir, ia akan menyumbat aliran air atau membuat sungai semakin dangkal.
"Nah yang di hilir ini, ya revitalisasi sungai ini penting banget Bahkan kalau perlu ya memang dibikin, ya kalau memang sudah seperti itu. Teknik-teknik irigasinya yang harus diperbaiki. Tapi yang jadi catatan adalah di hilir ini, ya itu tadi, sama juga. Tapi tata ruang yang ada di sepanjang sungai, di bantaran sungai," ujar Sapta.
Kali Bekasi membentang melintasi beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat. Mulai dari Bogor hingga Bekasi. Hal itulah yang kemudian juga dirasa menjadi tantangan dalam tata kelola DAS Kali Bekasi. Dibutuhkan sinergitas yang kuat antar daerah.
"Nah, itu kadang enggak sinkron juga gitu, kemudian political will-nya jadi beda-beda gitu kan. Ada satu kabupaten yang pengen banget menyelesaikan tapi kabupaten yang di hulunya ya cuek-cuek aja, ya tetap aja gitukan," kata Sapta.
Hal senada juga disampaikan Arif Gandapurnama, ia menekankan pentingnya integrasi antar pihak terkait dalam mengatasi persoalan ini. Ia mencontohkan selama ini sistem mengatasi persoalan banjir masih bersifat kewilayahan, semisal BPBD yang masih terpisah-pisah antar provinsinya.
Arif pun menekankan pentingnya framework yang disepakati bersama dalam mengatasi persoalan tersebut.
"Itu memang perlu ada komandonya, ada yang dikasih wewenang gitu. Selama ini ada di PUPR," ujar Arif.
"PUPR kan punya balai sungai ya. Nah cuma karena struktur wewenangnya PUPR kan hanya infrastruktur jadi dia tidak menyentuh hal-hal di luar infrastruktur," imbuhnya.