Jakarta, CNN Indonesia --
Bekasi jadi salah satu wilayah yang paling parah terdampak bencana banjir yang menerjang wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak Senin (3/3) malam. Luapan Kali Bekasi menyebabkan banjir yang melumpuhkan Kota Bekasi sejak Selasa (4/3). Banjir itu melanda 20 titik dan tujuh kecamatan.
Data pada Rabu (5/3), sebanyak 22.856 ribu KK terdampak akibat banjir ini. Jumlah itu tersebar di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan. Kecamatan Jatiasih menjadi wilayah dengan kondisi terparah. Total ada tujuh perumahan yang terdampak dengan luas mencapai 145,7 Hektar.
Dari jumlah tersebut, lima perumahan di antaranya mengalami kondisi terparah. Masing-masing yakni Perumahan Vila Jatirasa, Kemang Ifi, Pondok Mitra Lestari, Pondok Gede Permai, dan Perumahan AL.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banjir di Bekasi tahun ini bukan yang pertama kali. Justru, banjir yang melanda Bekasi pada tahun ini jadi yang terparah dibanding yang terjadi sebelumnya. Pendiri sekaligus Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas (KP2C), Puarman menilik balik sejumlah bencana banjir yang menerjang Bekasi sejak 2016 silam.
Bekasi diterjang banjir besar pada April 2016. Saat itu, warga Bekasi mengira itu merupakan yang terbesar. Ternyata, banjir yang lebih besar kembali menerjang empat tahun setelahnya, yakni pada Januari 2020.
"Dan kemarin tanggal 3 muncul lagi banjir yang jauh lebih besar dibanding 1 Januari 2020. Itu terlihat dengan sangat jelas," ujar Puarman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/3).
Puarman menjelaskan hal itu terbukti dari pantauan CCTV dan pos pemantauan di hulu sungai yang dimiliki KP2C.
"Waktu 1 Januari 2020 itu tingginya adalah 540. Tapi kemarin 680 sampai 700," ucapnya.
Tata kelola DAS serampangan
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menyampaikan penyebab banjir di Bekasi ini bersifat multifaktor, yakni, curah hujan yang tinggi, cuaca ekstrem sebagai dampak dari krisis iklim, dan tata kelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi.
Ia mengatakan bencana banjir yang menerjang Bekasi ini merupakan bentuk nyata dari krisis iklim dan kekacauan tata ruang.
"Kita menyebutnya DAS Kali Bekasi. Nah, DAS Kali Bekasi itu kan hulunya di wilayah Sentul, ya. Jadi beberapa perumahan-perumahan besar di Sentul itu, itu bahkan berada di dalam DAS Kali Bekasi. Jadi yang elevasinya memang tangkapan taluran hujan, kan," kata Iqbal kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/3).
"Jadi, begitu dia berubah menjadi areal-areal perumahan, Maka limpasan airnya akan langsung ke sungai, kan. Karena enggak tertahan, gitu," imbuhnya.
Ia pun menyoroti hutan yang tersisa di DAS Kali Bekasi yang kini hanya tersisa sekitar 1.700 hektare atau hanya 2 persen dari total DAS sekitar 147 ribu hektare. Padahal Iqbal menyatakan bahwa idealnya, wilayah hutan itu minimal 30 persen dari luas DAS sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Iqbal mengungkap bahwa aturan tersebut telah dicabut bersamaan dengan keluarnya UU Cipta Kerja. Namun ia menyatakan angka itu masih menjadi angka yang cukup ideal.
"Jadi, bayangkan ketika dua persen itu jauh dari ideal, gitu. Jadi, begitu ada cuaca ekstrem weather, terjadilah bencana banjir ini, gitu. Bahkan lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Iqbal berkata DAS Kali Bekasi kini diperuntukkan bagi perumahan. Ia bahkan menyebut ada salah satu kompleks perumahan di Bekasi yang tidak lagi berada di DAS, melainkan di dalam daerah sungai.
"Itu adalah aliran-aliran air, gitu. Jadi, sifat air itu tuh suatu waktu dia akan kembali ke situ," ucapnya.
Lonjakan Drastis DAS Jadi Permukiman
Data Greenpeace menunjukkan, pada 2022 penggunaan lahan DAS Kali Bekasi mayoritas untuk permukiman dengan total mencapai 61.297,3 hektare. Jumlah ini mencapai 42 persen dari total DAS Kali Bekasi seluas 145.952,7 hektare.
Angka ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan data pada 1990 silam. Saat itu, penggunaan lahan DAS untuk permukiman hanya sekitar 7.455,5 hektare (5,1 persen) dari total DAS seluas 145.805,2 hektare.
Pada 1990, penggunaan DAS Kali Bekasi paling banyak digunakan untuk sawah, pertanian lahan kering, dan pertanian lahan kering campur sema. Secara berurutan penggunaannya ialah seluas 62.829 hektare, 31.734,5 hektare, dan 27.740,5 hektare. Sementara itu, pada 2022, sawah tersisa 48.908 hektare.
Tinjau Kembali Izin Bangunan
Iqbal pun meminta pemerintah terkait untuk meninjau kembali perizinan pembangunan di DAS Kali Bekasi. Iqbal mempertanyakan dulu saat pemberian izin tersebut, pemerintah seharusnya sudah memperhitungkan dampak negatif yang akan timbul.
"Yang harusnya dilakukan sama pemerintah saat ini ya peninjauan izin. Meninjau ulang izin-izin itu," ujar dia.
Ia pun juga menyoroti persuratan tanah di sana, yang di mana rata-ratanya sudah di tingkat SHM. Dengan begitu, ia berpendapat peninjauan kembali izin itu bisa dimulai dari tanah yang masih di tingkat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU).
"Bisa misalnya HGB atau HGU yang belum dibebankan infrastruktur. Biar ganti rugi enggak terlalu besar, itu yang dikembalikan ruang terbuka hijaunya," ucap dia.
Kondisi ini, jika pemerintah tak segera mengambil tindakan, menurutnya banjir di Bekasi akan terus berulang. Belum lagi ditambah faktor perubahan iklim.
Ia pun mendorong pemerintah untuk segera mengambil tindakan dalam mengatasi persoalan ini. Sebagai solusi jangka pendek, ia mendorong dilakukannya pengerukan Kali Bekasi.
"Tapi itu tidak akan bertahan lama karena suatu waktu dia akan balik lagi," ujar dia.
"Jadi kayak perumahan-perumahan di wilayah bantaran kali ya harus dikembalikan ke fungsi awal, normalisasi bahasanya," imbuhnya.
Solusi dari Hulu ke Hilir
Kembali ke Puarman, ia menekankan bahwa solusi mengatasi banjir tidak bisa reaktif. Ia menyatakan permasalahan banjir takkan selesai jika penanganannya hanya berupa bantuan bagi warga terdampak.
"Jadi solusi penanganan banjir ini bukan sembako, bukannya air mineral, aqua, indomie lagi. Harus dicari solusi yang permanen," kata Puarman.
Puarman menyodorkan enam solusi yang dirancang oleh KP2C. Komunitas itu beranggotakan sekitar 32 ribu orang dan seluruhnya warga terdampak banjir.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Solusi pertama ialah penerapan konsep Zero Delta Q yang di mana setiap bangunan baru tidak boleh menambah debit air baik ke drainase maupun ke sungai.
Ia menyatakan hal itu penting dilakukan, bahkan sudah menjadi isu bersama sedunia yang menjadi salah satu isu bahasan di World Water Forum (WWF) di Bali beberapa waktu lalu. Lalu solusi kedua ialah pembangunan polder yang berfungsi sebagai kolam retensi. Puarman menyebutnya dengan sebutan 'Polder tebus dosa'.
Ia meminta seluruh perumahan yang berdiri di DAS Kali Bekasi untuk membangun polder tersebut.
"Apa polder tebus dosa? Sudah terlanjur berdiri nih perumahan. Kan enggak mungkin dibongkar ya? Nah, bagaimana solusinya? Solusinya adalah mereka harus membangun polder," kata dia.
"Mereka harus membangun polder yang seimbang dengan penambahan debit air yang mereka lakukan. Contoh, mereka ada 10 perumahan. 10 perumahan itu menambah debit air ke sungai, taruh lah 100 kubik gitu kan. Nah, mereka harus bangun polder gitu kan, dengan kapasitas tampung setara dengan itu," imbuhnya.
Lalu, solusi ketiga ialah secepatnya melakukan percepatan normalisasi Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas. Puarman menjelaskan normalisasi itu terdiri atas tiga bagian yang meliputi pengerukan sungai, pelebaran sungai, dan penanggulan pembangunan.
Kemudian, ia juga meminta pemerintah melanjutkan normalisasi Kali Bekasi yang kini tertunda.
"Kali Bekasi itu ada tujuh paket yang sudah direncanakan tempo hari. Tapi baru jalan satu. Nah, kedepannya belum jelas," ucapnya.
Ia mengatakan tujuh paket normalisasi Kali Bekasi itu dicanangkan setelah banjir menerjang di Juni 2020. Sejumlah instansi pemerintah pun bertemu dan menelurkan Rencana Aksi Bersama mengatasi banjir se-Jabodetabek oleh Gubernur Jawa Barat, Gubernur DKI, Gubernur Banten kala itu.
"Kesepakatannya adalah akan dilakukan program mengendalikan banjir secara menyeluruh di Jabodetabek dengan biaya dari Kementerian PUPR. Tapi, penyiapan lahannya oleh Pemda masing-masing," ujar Puarman.
Namun, dalam proses peyiapan lahan ini mandeg di pemerintah daerah masing-masing. Puarman mengatakan hal itu terjadi karena keterbatasan dana. Ia pun mengusulkan jika memang pemerintah daerah terkait tidak mampu, maka pemerintah pusat harus siap menggelontorkan dana untuk pembebasan lahan.
"Nah, Pemda nanti membantu dampak-dampak sosialnya aja. Pada saat membebaskan, kalau ada gejolak-gejolak, itu Pemda yang menjawab. Tapi dalam hal pembayaran, dalam hal keuangan, usul saya itu dikembalikan ke pusat," ucapnya.
Ia pun berpesan ke pemerintah pusat yang kini gencar menerapkan efisiensi anggaran agar tak melakukan pemangkasan anggaran yang berhubungan dengan pengendalian banjir. Ia menegaskan bahwa hal itu menyangkut ratusan ribu masyarakat yang menderita apabila terjadi banjir.
Solusi kelima ialah mengubah pola operasi di Bendung Bekasi. Menurutnya, pola operasi Bendung Bekasi yang diterapkan hari ini sudah tidak cocok.
"Supaya di Bendung Bekasi itu kan kepentingan penyediaan air baku air minum ya. Supaya penyediaan baku air minum tidak mengorbankan kepentingan masyarakat untuk tidak banjir. Nah, dicari nanti keseimbangannya," ujar dia.
Lalu solusi yang terakhir ialah pemerintah harus waspada terhadap peringatan dini cuaca dan sering menerapkan operasi modifikasi cuaca (OMC). Ia menyebut langkah itu terbukti ampuh sebagai upaya preventif dalam menghadapi banjir. Ia mencontohkan pada awal Desember 2024 lalu, BMKG telah memperingatkan potensi cuaca ekstrem.
"Karena ada peringatan dari BMKG. Pemerintah DKI sama BMKG waktu itu melakukan modifikasi cuaca, makanya selama bulan Desember dan Januari itu tidak ada banjir," ucap Puarman.
Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Publik Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Indonesia (IAP), Arif Gandapurnama menyatakan pemerintah harus mengambil langkah serius dalam mengatasi persoalan banjir.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tak bisa hanya mengambil langkah reaktif seperti pemberian bantuan ke warga terdampak saja saat sudah terjadi banjir.
"Seperti mitigasi untuk aksi perubahan iklim. Cuman ternyata hal ini belum cukup populer," ucap Arif.
Kemudian, ia juga menekankan pentingnya manajemen penataan ruang. Menurutnya, pemerintah harus mengoptimalisasi manajemen penataan ruang ini.
Sementara itu, Senior Data and GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi menjelaskan solusi dari persoalan ini pun cukup rinci di setiap bagian kali. Pertama, di bagian hulu diperlukan penataan ulang. Harus diperjelas mana area yang merupakan daerah resapan.
Pada pokoknya, tata ruang di bagian hulu Kali Bekasi harus ditata ulang, perizinan di sana juga harus di-review kembali. Lalu di bagian tengah sungai, ialah pengelolaan sampah yang harus dijadikan perhatian khusus oleh seluruh pihak.
Ananda menekankan bahwa sampah juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab banjir, ia akan menyumbat aliran air atau membuat sungai semakin dangkal.
"Nah yang di hilir ini, ya revitalisasi sungai ini penting banget Bahkan kalau perlu ya memang dibikin, ya kalau memang sudah seperti itu. Teknik-teknik irigasinya yang harus diperbaiki. Tapi yang jadi catatan adalah di hilir ini, ya itu tadi, sama juga. Tapi tata ruang yang ada di sepanjang sungai, di bantaran sungai," ujar Sapta.
Pentingnya Sinergitas Antar Daerah
Kali Bekasi membentang melintasi beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat. Mulai dari Bogor hingga Bekasi. Hal itulah yang kemudian juga dirasa menjadi tantangan dalam tata kelola DAS Kali Bekasi. Dibutuhkan sinergitas yang kuat antar daerah.
"Nah, itu kadang enggak sinkron juga gitu, kemudian political will-nya jadi beda-beda gitu kan. Ada satu kabupaten yang pengen banget menyelesaikan tapi kabupaten yang di hulunya ya cuek-cuek aja, ya tetap aja gitukan," kata Sapta.
Hal senada juga disampaikan Arif Gandapurnama, ia menekankan pentingnya integrasi antar pihak terkait dalam mengatasi persoalan ini. Ia mencontohkan selama ini sistem mengatasi persoalan banjir masih bersifat kewilayahan, semisal BPBD yang masih terpisah-pisah antar provinsinya.
Arif pun menekankan pentingnya framework yang disepakati bersama dalam mengatasi persoalan tersebut.
"Itu memang perlu ada komandonya, ada yang dikasih wewenang gitu. Selama ini ada di PUPR," ujar Arif.
"PUPR kan punya balai sungai ya. Nah cuma karena struktur wewenangnya PUPR kan hanya infrastruktur jadi dia tidak menyentuh hal-hal di luar infrastruktur," imbuhnya.