ANALISIS

Revisi UU TNI dan Potensi Kebangkitan Dwifungsi

CNN Indonesia
Jumat, 14 Mar 2025 16:55 WIB

Kendati demikian, Fahmi menegaskan Revisi UU TNI yang sedang dilakoni saat ini bukan berarti tidak memiliki tantangan serius pada saat pelaksanaannya setelah disahkan.

Ia menilai yang tidak kalah penting saat ini yakni memastikan agar implementasi di lapangan berjalan sesuai ketentuan. Fahmi mewanti-wanti jangan sampai keberadaan prajurit aktif di jabatan sipil tersebut justru berkembang menjadi bentuk baru dari campur tangan militer dalam tata kelola sipil.

Dia mengingatkan tanpa ada batasan yang jelas, revisi UU TNI bisa jadi berpotensi meningkatkan pengaruh militer dalam birokrasi sipil. Akhirnya, kata dia, dapat berujung pada fenomena para-militerisasi di lembaga non-TNI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena itu, penting memastikan bahwa penempatan ini benar-benar berbasis kebutuhan fungsional dan bukan sekadar memperluas keterlibatan prajurit aktif di luar struktur TNI," tegas Fahmi.

Menambahkan Fahmi, secara terpisah Agung mengatakan kewajiban bagi TNI untuk memastikan penempatan prajuritnya di kementerian dan lembaga terkait dilakukan sesuai dengan kemampuan dan prestasinya.

"Harus meritokrasinya diutamakan. Jadi peran sipil di situ untuk mengawasi, mengontrol apakah penunjukan pejabat militer di pos-pos tadi memang sudah sesuai," tuturnya.

"Apakah orang yang kompeten, jangan sampai mengulang kesalahan karena sekedar dekat, ditunjuk. Dalam tanda petik dipilih karena ada ordal [orang dalam]. Padahal ada yang lebih bagus,"kata Agung.

Sementara untuk revisi batas usia pensiun atau masa aktif dengan beberapa kategori tertentu, Fahmi menilai hal itu berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia di dalam tubuh TNI.

Di sisi lain, Fahmi mengatakan meskipun penundaan usia pensiun dapat membantu menghindari lonjakan jumlah purnawirawan dalam waktu singkat, hal itu juga bisa berdampak pada perlambatan regenerasi kepemimpinan.

Pasalnya peluang promosi bagi perwira muda semakin sempit. Akibatnya, dalam jangka panjang bisa menciptakan struktur organisasi yang terlalu didominasi perwira senior dan berpotensi menghambat dinamika dan efektivitas internal TNI.

"Oleh karenanya saya kira tidak perlu tergesa-gesa agar Revisi UU TNI ini tidak menyisakan celah atau wilayah abu-abu yang bisa memunculkan persepsi kembalinya dwifungsi yang dikhawatirkan publik," tuturnya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai RUU TNI masih memberi ruang kembalinya dwifungsi dan militerisme dalam tata kelola pemerintahan. Koalisi itu terdiri atas berbagai lembaga dan elemen sipil seperti YLBHI, Amnesty International, KontraS, hingga BEM SI.

"Pemerintah sudah menyampaikan DIM RUU TNI kepada parlemen pada 11 Maret 2025. Dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwifungsi TNI dan menguatnya militerisme," demikian pernyataan mereka, Kamis (13/3).

Mereka menilai RUU TNI tidak mendesak, karena UU TNI saat ini UU 34/2004 masih relevan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional. Ketimbang itu, mereka menilai seharusnya  Pemerintah dan DPR perlu mengubah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU 31/1997.

"Agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam konstitusi," demikian pernyataan mereka.

Sementara itu, dalam keterangannya, KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak tak sepakat dengan tudingan yang menyatakan revisi UU TNI akan membuat militer kembali seperti di masa Orde Baru. Dia lalu menyebut pihak yang mempersoalkan penempatan prajurit aktif di lembaga/kementerian justru ingin menyerang institusi TNI.

"Jadi tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, orde baru lah, tentara dibilang hanya bisa membunuh dan dibunuh. Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya," ujar Maruli dalam keterangannya yang dikutip Kamis kemarin.

Sebagai informasi, pada masa Orde Baru di bawah kepresidenan almarhum Jenderal Besar (Purn) Soeharto, dominasi ABRI cukup kuat di pemerintahan dan MPR/DPR kala itu. Di parlemen, mereka pun memiliki fraksi yang bernama Fraksi ABRI. Anggotanya berasal dari empat matra dalam ABRI, termasuk kepolisian.

Penghapusan Dwifungsi ABRI juga disebut sebagai amanat Reformasi 1998, di mana semangat demokratisasi dan supremasi sipil sangat menggebu saat itu.

Akhirnya penghapusan Dwifungsi ABRI itu dilakoni Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di bawah kepemimpinannya, Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh ABRI yang telah berubah jadi bernama TNI. Keputusan itu pun mengakibatkan anggota TNI harus melepaskan peran sosial-politiknya, sehingga prajurit militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil.

Pada masa kepemimpinannya yang seumur jagung itu (1999-2001), Gus Dur juga memisahkan Polri dengan TNI yang lalu dituangkan ke dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2000.

(tfq/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER