ANALISIS

Mengapa Harus Khawatir dengan Revisi UU TNI dan Dwifungsi Militer?

CNN Indonesia
Senin, 17 Mar 2025 11:07 WIB

Kata dia, draf revisi Pasal 47 bermasalah karena TNI aktif dibolehkan menempati jabatan-jabatan sipil sesuai dengan kebijakan presiden. Padahal, dalam UU TNI yang saat ini berlaku hanya diatur 10 lembaga saja dan berkaitan dengan urusan pertahanan yang boleh diduduki prajurit.

"Kalau Pasal ini kemudian direvisi, maka habislah kemudian kehidupan sipil kita," kata Husein dilansir dari diskusi 'Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi' yang berlangsung di Kantor YLBHI.

Dalam daftar inventaris masalah yang diperoleh, tidak disebutkan lagi perihal jabatan-jabatan sipil yang bisa dijabat TNI tersebut sesuai disesuaikan dengan kebijakan presiden. Namun memang ada penambahan jabatan yang bisa dijabat TNI dari 10 jabatan kini jadi 16 jabatan. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Husein lantas mengungkit pengalaman 32 tahun bangsa hidup dalam masa Orde Baru di mana angkatan bersenjata, saat itu ABRI, menjadi kekuatan utama yang membuat masyarakat sipil takut mengkritik pemerintah.

"Bayangkan kalau militer itu duduk dalam jabatan-jabatan pemerintah. Bagaimana mungkin kita bisa berdebat, kita bisa mengkritik kalau mereka berbaju militer. Orang kan kemudian takut dengan ancaman seperti itu," imbuhnya.

Merugikan TNI

Menurut Husein, perluasan jabatan sipil dimaksud justru merugikan TNI karena menarik jauh mereka dari tugas utama sebagai alat pertahanan negara. Ia khawatir profesionalisme TNI terganggu.

"Kalau kemudian fokus dia ditarik menjadi urus MBG [Makan Bergizi Gratis], urus PSN [Proyek Strategis Nasional], urus beras di Bulog, urus apa lagi, Kali Citarum misalnya, urus sawit misalnya, dia akan jadi tidak fokus terhadap tugas utamanya itu adalah untuk berperang," tutur Husein.

Lebih lanjut, perluasan jabatan sipil bagi TNI akan semakin merusak pola dalam organisasi ASN. Diyakini akan timbul kecemburuan sosial ketika revisi mengenai ini disahkan.

"Bayangkan orang bertahun-tahun berkarier di ASN, punya bayangan, 'Oh, nanti saya akan jadi Dirjen, saya akan jadi Sekretaris Kementerian, akan jadi Deputi'. Dia berkarier dengan baik, terus ketika dia sudah waktunya mau jadi Deputi, tiba-tiba masuk jenderal siapa lagi," ungkap Husein.

Sebelum revisi UU TNI, sudah banyak prajurit TNI aktif di jabatan sipil, setidaknya ada 2.569 prajurit berdasarkan informasi dari Lemhannas tahun 2023 silam.

"Siapa yang ngomong? Bukan Imparsial. Yang ngomong TNI sendiri di acara di Lemhannas pada tahun 2023. Kemudian dia mengakui sendiri bahwa ada 2.569 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil itu di luar dari apa yang diperbolehkan dalam Undang-undang TNI," kata Husein.

Selanjutnya, Husein mempermasalahkan penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Bagi dia, Panglima TNI bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan prajurit. Mengubah aturan dengan berbagai macam dalih seperti kasihan atas nasib prajurit, tegas dia, bukan solusi tepat mengatasi persoalan tersebut.

"Menurut saya ini adalah dalih daripada keinginan segelintir orang di elite TNI untuk kembali seperti masa Orde Baru di mana TNI bisa berbisnis. Mumpung presidennya sekarang militer, temannya dia, dia pengin revisi Undang-undang itu," ungkap Husein.

Terakhir, Husein menyoroti poin krusial dalam revisi UU TNI yang memuat keinginan untuk memperkuat peradilan militer. Menurut Husein, jika ketentuan ini disahkan, maka akan memperkuat impunitas.

Ia menyatakan Imparsial dan juga sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya sering memantau proses peradilan militer di mana hukuman yang dijatuhkan jauh dari rasa keadilan. Tak hanya itu, proses persidangan cenderung tertutup.

Ia memberi contoh, tiga prajurit TNI Angkatan Darat (AD) yakni Kapten Saiful Anwar, Serka Alex Ading dan Pratu Moh. Andi Hasan Basri hanya dihukum satu tahun penjara atas kasus pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani.

Ia menegaskan prajurit maupun perwira TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili lewat peradilan sipil bukan militer. Dalam hal ini ia menekankan prinsip kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law.

"Oleh karena itu, kita mesti tolak revisi Undang-undang ini," seru Husein.

Sementara itu, Arif Maulana dari YLBHI menambahkan poin revisi yang dapat menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang.

Menurut Arif, ketentuan tersebut di dalam revisi justru mengukuhkan kekebalan TNI dalam melakukan operasi militer non-perang tanpa harus melalui mekanisme check and balances oleh lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yakni DPR dalam pengambilan keputusan politik negara.

Hal ini dilandasi pada Pasal 7 ayat (4) yang mengatur bahwa "pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut cukup dengan peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10".

Hal itu bertentangan dengan Pasal 5 TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI/POLRI yang menegaskan kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI.

"Pengaturan tersebut sangat berbahaya karena menghilangkan peran DPR dan memberikan kekuasaan besar kepada presiden untuk memutuskan tanpa pertimbangan DPR," kata Arif.

Salah satu bentuk operasi militer non-perang adalah penanganan gerakan separatis bersenjata. Arif mengkhawatirkan pelanggaran HAM berat terjadi sebagaimana peristiwa di Aceh dan Papua. Mulai dari pengusiran paksa, kelaparan, hingga pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing.

"Sudah seharusnya DPR dan Presiden tidak justru membiarkan bangsa ini jatuh ke lubang yang sama dan segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI tersebut. Terlebih revisi ini dilakukan secara tidak terbuka dengan mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan prinsip partisipasi bermakna," pungkas Arif.

Klaim pastikan supremasi sipil

Sementara itu dalam pernyataan resminya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Hariyanto mengklaim revisi UU TNI ini untuk memperkuat pertahanan, meningkatkan profesionalisme prajurit, serta memastikan supremasi sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya RUU TNI tak ada niat mengebiri supremasi sipil.

"Revisi UU TNI ini menjunjung tinggi supremasi sipil," kata Hariyanto dalam keterangan resminya, Minggu (16/3).

Selain itu mekanisme dan kriteria penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga (K/L) dalam RUU TNI akan diatur dengan ketat.

Dia menjelaskan penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI harus sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu prinsip netralitas TNI.

"Penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI akan diatur dengan ketat agar tetap sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan," kata Hariyanto dilansir Antara, Minggu (16/3).

Dia menyebut rumusan perubahan dalam RUU TNI menyangkut perpanjangan batas usia pensiun prajurit juga berdasarkan alasan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia.

Menurutnya harapan hidup orang Indonesia yang semakin panjang dan produktif sehingga masih dapat berkontribusi bagi negara. Hal ini juga untuk menjaga keseimbangan regenerasi dalam tubuh TNI.

"Kami melihat bahwa penyesuaian batas usia pensiun dapat menjadi solusi agar prajurit yang masih memiliki kemampuan optimal tetap bisa mengabdi, tanpa menghambat regenerasi kepemimpinan di TNI," ujarnya.

Dia menuturkan RUU TNI bertujuan menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih efektif tanpa tumpang tindih dengan institusi lain dalam menghadapi ancaman militer dan nonmiliter.

Untuk itu, dia menyebut RUU TNI menjadi langkah strategis untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme prajurit.

"Revisi UU TNI adalah kebutuhan strategis agar tugas dan peran TNI lebih terstruktur serta adaptif terhadap tantangan zaman," ucap Hariyanto.

(ryn/dal)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER