Fadhil turut menyoroti Presiden dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mempunyai tugas untuk membuat regulasi atau Undang-undang. Semestinya Presiden bisa berbuat banyak untuk mengatasi krisis hukum yang sedang menghantui.
"Presiden adalah salah satu kekuasaan pembentuk Undang-undang, sama dengan DPR. Presiden atasan dari beberapa lembaga penegak hukum di ranah eksekutif ya. MA bukan bawahan dia tapi dia punya bawahan seperti Kapolri dan Jaksa Agung. Artinya, dia punya banyak hal yang bisa dilakukan, banyak ruang yang bisa dia masuki untuk kemudian mendorong penegakan hukum dan penyelenggaraan negara yang bebas KKN," ungkap Fadhil.
"Kita juga bisa bilang presiden enggak ngapa-ngapain. Artinya, ini tugas besar lah ya dari presiden sendiri sama pun DPR lah sebagai pembentuk Undang-undang agar serius memperbaiki ini," sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadhil mengaku belum melihat ada keseriusan untuk mendorong perubahan dari pembentuk Undang-undang. Hal itu terlihat dari kian marak pembentukan Undang-undang oleh DPR dan pemerintah yang dilakukan tanpa mengakomodasi kepentingan publik.
"Sekarang kan trennya korupsi itu bukan hanya dalam pelaksanaan, tapi dalam perumusan kebijakan perspektifnya ada korupsi. Nah, itu yang kemudian dalam praktik, dalam teori juga disebut state capture corruption: melegalkan korupsi dan kekuasaan negara," kata dia.
Jika permasalahan ini tidak segera diperbaiki, Fadhil menuturkan akan berdampak serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu disebabkan karena korupsi meluas ke sektor demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kita enggak akan bergerak ke mana-mana," ucap Fadhil.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah 'Castro' memandang kasus hukum terutama korupsi yang kian marak bahkan melibatkan aparat penegak hukum karena Indonesia telah kehilangan panutan atau contoh baik.
Dalam hal ini Castro menyinggung KPK dahulu sebagai contoh baik karena memiliki standar integritas bagi lembaga-lembaga lainnya, namun kini tidak lagi setelah Undang-undangnya direvisi pada tahun 2019.
Revisi tersebut mengamputasi kewenangan lembaga antirasuah.
"Kehilangan panutan itu berkonsekuensi terhadap standar integritas yang kita pakai di semua lembaga-lembaga," kata Castro, Senin (14/4).
Ia menambahkan kondisi tersebut diperparah dengan sikap Presiden yang hanya menebar gimik dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi. Ia mengambil satu contoh Presiden yang tidak menyingkir orang-orang bermasalah dari pemerintahannya.
"Presiden justru seolah-olah hanya menebar gimik," kata dia.
Padahal, sebagai panglima tertinggi pemberantasan korupsi, Castro berpendapat Presiden semestinya bisa bertindak dengan konkret. Misalnya dengan memerintahkan percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset.
"Alih-alih mempercepat Rancangan Undang-undang Perampasan Aset, Presiden justru kemudian mengampanyekan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi jawaban dalam urusan korupsi, dia mau membuat penjara di pulau, mengejar koruptor ke ujung dunia, macam-macam. Hal-hal yang sebenarnya tidak beralasan," kata dia.
Menurut Castro, Indonesia telah kehilangan arah karena pemerintah tidak punya desain yang jelas mengenai kerja-kerja pemberantasan korupsi. Ia menyatakan Presiden hanya banyak menebar gimik terkait urusan tersebut.
"Ibarat kapal yang nakhoda-nya tidak jelas, itu yang terjadi di Indonesia- akan semakin masif korupsi itu," pungkasnya.