Sementara, pakar kesehatan masyarakat, Tjandra Yoga Aditama menilai kasus asusila dan pelecehan seksual dua dokter di Jabar telah merusak, mengoyak, dan mencabik-cabik sumpah hipocrates yang dibaca oleh dokter.
Mantan Direktur Penyakit Menular, World Health Organization (WHO) ASEAN itu mengatakan profesi dokter memang menangani kesehatan manusia, dan itu yang harus jadi pilar utama profesi. Tugas itu, katanya, tidak boleh dicederai pelecehan seksual dalam bentuk apapun.
"Dokter yang melakukan perkosaan dan pelecehan sexual, selain mendapat sangsi hukum sesuai aturan yang ada, juga mendapat sangsi profesi karena melakukan kegiatan yang berlawanan dan bertentangan dengan keluhuran profesi," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto mengaku prihatin dengan sejumlah kasus asusila yang dilakukan dokter kepada pasiennya.
Menurut Slamet, sebagai profesi yang mulia, dokter mestinya harus menjunjung tinggi sumpah dan kode etik kedokteran.
"Karena dibatasi oleh sumpah dokter dan kode etik kedokteran," kata Slamet saat dihubungi, Kamis (17/4).
Lihat Juga : |
Slamet mengaku belum bisa memastikan bahwa sejumlah kasus tersebut merupakan puncak gunung es. Sebab, kata Slamet, tak ada data pasti di kepolisian terkait jumlah kasus asusila oleh dokter, begitu pula tak ada laporan di IDI sebelumnya terkait kasus serupa.
Namun, Slamet memastikan kasus asusila oleh dokter PPDS di RSHS Bandung hingga dokter kandungan di Garut, akan menjadi perhatian pihaknya. Apalagi, lanjut dia, selama ini dokter menurut hasil survei dinilai sebagai profesi yang paling dipercaya. Baik level nasional maupun internasional.
"Tapi itu jadi menampar kita. Kalau dokter sebagai profesi enggak dipercaya mestinya juga enggak dipercaya," kata dia.
Lembaga Ipsos pada 2024 merilis hasil survei tentang profesi yang paling dipercaya oleh publik selama 2024. Hasilnya, dokter, ilmuwan, dan guru masuk dalam tiga besar profesi yang paling dipercaya masyarakat. Dokter memperoleh suara 58 persen, ilmuwan 56 persen, dan guru 54 persen.
Menurut Slamet, pihaknya ke depan mendorong agar setiap rumah sakit memperketat pengawasan kepada setiap dokter. Rumah sakit, kata dia, harus memperbaiki tata kelola atau sop pengawasan.
Selain itu, dia meminta agar dokter residen dibatasi hanya memiliki waktu kerja 50 jam per minggu. Menurut dia, hal itu agar para dokter bisa rutin bertemu keluarganya untuk mengurangi potensi kesalahan dalam bekerja.
"Itu mengurangi angka kriminalitas dan bullying. Itu untuk mengurangi lah. Tapi aturan internasional begitu 40-50 jam per minggu. Kalau seminggu di rumah sakit enggak pulang-pulang bahaya," katanya.
(fra/thr/fra)