Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terbelenggu justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam kaitan itu, untuk menerapkan Pasal 27A UU 1/2024 menurut Mahkamah tetap harus mengacu pada ketentuan KUHP, in casu Pasal 310 KUHP yang saat ini masih berlaku, termasuk sebagaimana yang telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Maret 2024 khususnya pemaknaan atas Pasal 310 ayat (1) KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang atau individu.
"Artinya, Pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan," ucap hakim MK.
Sementara badan hukum yang merasa menjadi korban pencemaran nama baik tidak bisa menjadi pihak pengadu atau pelapor. Hanya korban (individu) yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum mengenai perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak masuk akal ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang diberlakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 27A UU 1/2024.
"Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa "orang lain" Pasal 27A frasa "orang lain" adalah individu atau perseorangan. Oleh karena itu, UU 1/2024 maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa "orang lain" adalah individu atau perseorangan," kata hakim MK.
Sementara itu, menurut Mahkamah, penggunaan frasa "suatu hal" dalam konteks delik pencemaran nama baik dapat menimbulkan kerancuan antara perbuatan pencemaran nama baik dan penghinaan biasa. Padahal, secara doktrinal keduanya merupakan dua bentuk delik yang berbeda.
Dalam hal ini, penghinaan lebih bersifat ekspresi emosional yang tidak mengandung penuduhan perbuatan tertentu, misalnya dengan penggunaan kata-kata kasar, berupa ujaran atau makian. Perbedaan ini tidak hanya relevan dari segi struktur unsur delik, tetapi juga penting dalam menentukan tingkat kesalahan (mens rea), beban pembuktian, dan proporsi ancaman pidana yang dijatuhkan.
"Apabila frasa "suatu hal" ditafsirkan terlalu luas, maka akan terjadi penggabungan yang tidak proporsional antara dua bentuk perbuatan yang berbeda, yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum," kata hakim MK.
MK memandang penting ketentuan mengenai penghinaan dihapus dari Pasal 27 ayat (3) dan hanya menyisakan ketentuan tentang pencemaran nama baik. Dalam konstruksi seperti ini, frasa "suatu hal" tanpa kejelasan parameter/kriteria dalam penggunaannya akan menyebabkan ketidakpastian hukum karena berbagai bentuk penghinaan yang sebelumnya telah dikategorikan secara terpisah dapat ditarik ke dalam pengertian pencemaran nama baik melalui konstruksi interpretasi yang luas.
"Hal ini akan menjadikan Pasal a quo sebagai "pasal keranjang sampah", "mulur mungkret", "pasal karet" (catch-all provision) yang menampung berbagai bentuk ekspresi yang sesungguhnya memiliki dimensi dan akibat hukum yang berbeda," kata hakim MK.
"Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa "suatu hal" tidak dimaknai "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang"," tandasnya.
Pemohon yakni Daniel Frits Maurits Tangkilisan merupakan aktivis lingkungan Karimunjawa yang dikriminalisasi dengan UU ITE. Dia diproses hukum hingga dibawa ke pengadilan.
Pada Rabu, 2 Oktober 2024, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum atas vonis bebas Daniel.
Dengan begitu, putusan bebas terhadap Daniel telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah dan yang bersangkutan tidak lagi menyandang status terdakwa.
Perkara nomor: 6459 K/PID.SUS/2024 diperiksa dan diadili oleh ketua majelis hakim kasasi Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Ainal Mardhiah dan Sutarjo. Panitera Pengganti Mario Parakas.
Vonis tingkat kasasi tersebut menguatkan putusan banding yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang nomor: 374/PID.SUS/2024/PT SMG.
Upaya banding dan kasasi tersebut ditempuh jaksa lantaran di pengadilan tingkat pertama yakni Pengadilan Negeri (PN) Jepara sebelumnya menghukum Daniel dengan pidana tujuh bulan penjara.
Daniel dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan ujaran kebencian terkait dengan sebuah video yang diunggahnya ke Facebook pada 12 November 2022.
Video tersebut berdurasi 6 menit, menampilkan kondisi pesisir Karimunjawa yang diduga terkena dampak limbah tambak udang.
Unggahan tersebut mendapat berbagai komentar. Di antara komentar-komentar itu Daniel membalasnya dengan kalimat:
"Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kayak ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan."
Ia ditahan Polres Jepara pada 7 Desember 2023. Daniel mengikuti proses hukum tersebut sampai divonis di pengadilan tingkat pertama.
(ryn/wis)