Pensiunan Jenderal TNI & CEO Navayo Jadi Tersangka Satelit Kemhan
Kejagung RI menetapkan pensiunan jenderal TNI dan CEO Navayo International AG tiga tersangka dalam perkara dugaan korupsi koneksitas proyek pengadaan satelit slot orbit Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Penetapan tersangka itu dilakukan Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung atas kasus proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan tahun 2012-2021.
"Tim penyidik telah menetapkan tiga tersangka," kata Direktur Penindakan Jampidmil Brigjen Andi Suci Agustiansyah dalam konferensi pers di kompleks kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (7/5)malam.
Andi Suci mengatakan tiga tersangka itu terdiri atas satu pensiunan TNI yakni Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi (L) selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Anthony Thomas van der Hayden (ATVDH) selaku tenaga ahli satelit Kemenhan atau perantara untuk proyek satelit tersebut, dan Gabor Kuti (GK) selaku CEO Navayo International AG.
Andi Suci mengatakan tersangka L selaku PPK di Kemhan bersama tersangka Gabor selaku CEO Navayo--yang perusahaannya berada di Hungaria--menandatangani kontrak perjanjian pengadaan barang dan jasa pada 1 Juli 2016.
Namun, penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga meskipun tak ada anggaran, serta diduga tidak melalui proses pengadaan barang dan jasa.
"Navayo International AG juga merupakan rekomendasi aktif dari tersangka ATVDH," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan untuk kasus itu Jampidmil sudah memeriksa puluhan saksi dan sembilan ahli.
"Dalam perkara ini setidaknya ada 52 saksi dari kalangan sipil yang sudah dipanggil dan diperiksa, dan juga ada 7 orang dari kalangan militer. Dan ada sembilan orang yang dimintai keterangan sebagai ahli," kata Harli.
Dalam kasus ini, para tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 KUHP subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 KUHP.
Respons eks pejabat kemenhan
Terpisah, Eks Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenhan Laksamana Muda TNI (P) Leonardi buka suara usai ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Leonardi bersama beberapa orang lainnya ditetapkan jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi koneksitas proyek pengadaan satelit slot Kemenhan.
Melalui kuasa hukumnya, advokat Rinto Maha mengatakan dirinya hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA tersedia, yakni pada Oktober 2016.
"Bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada sebagaimana diberitakan atau dituduhkan," kata Rio dalam keterangan tertulis, Selasa (29/7).
Keterangan Leonardi ini sekaligus merupakan hak jawab atas pemberitaan.
Dia juga mengatakan penunjukan Navayo selaku pemenang adalah wewenang Pengguna Anggaran dan telah disampaikan akhir 2015 pada rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo saat itu.
Rio menegaskan kliennya Leonardi hanya bertugas sebagai PPK bukan pengambil keputusan utama dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kemenhan. Dia menegaskan seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Selain itu, Rio menegaskan tidak ada satu rupiah pun yang dibayarkan kepada Navayo sehingga tidak ada kerugian negara aktual.
Dia menuturkan Laporan hasil audit BPKP tertanggal 12 Agustus 2022 yang menjadi batu pijakan penyidik Kejagung RI menetapkan Leonardi tagihan belasan juta dolar Navayo belum pernah dibayarkan oleh Kemenhan.
"Seluruh klaim kerugian negara bersifat potensi (potential loss), bukan kerugian nyata (actual loss)," katanya.
Rio menegaskan di sisi lain CoP atau Certificate of Performance yang menjadi klaim tagihan juga tak disetujui oleh Leonardi saat itu. Faktanya, kata dia, Leonardi baru teken kontrak pada Oktober 2016 setelah ada revisi DIPA Kementerian Keuangan. Pada Juli 2016, kliennya tak meneken kontrak karena anggaran tak tersedia.
"Ini membuktikan klien kami menjalankan prinsip kehati-hatian, bukan melakukan perbuatan melawan hukum atau adanya penyalahgunaan wewenang pada saat menjabat," katanya.
Rio menegaskan kliennya bahkan tidak pernah mendatangi Navayo di Eropa, sehingga narasi "bersekongkol" adalah tidak tepat.
Dia menuturkan Leonardi justru bersurat ke Navayo pada awal 2017 untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur pelaksanaan belum lengkap.
Ia juga menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah administratif korektif.
"Yang paling jelas Laksamana Muda TNI (P) Ir. Leonardi, MSc bukanlah pihak yang berwenang untuk memenangkan Navayo, karena dalam permenhan No 17 Tahun 2014 itu adalah wewenang Pengguna Anggaran, dan tindakan Leonardi untuk tidak menandatangani kontrak sebelum anggaran DIPA turun adalah bukti Mens Rea untuk menyalahgunakan wewenang tidak ada," katanya.
Oleh karena itu, Rio memaparkan sejumlah kesimpulan:
1. Bahwa klien kami tidak membela wanprestasi atau kecurangan Navayo yang tidak memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5% dan kesepakatan mengenai transfer teknologi kepada PT. LEN, dan ;
2. Bahwa klien kami tidak pernah secara aktif untuk melobi/berkomunikasi dengan penyedia atau mendatangi kantor Navayo (buka LHP BPKP tanggal 12 Agustus 2025), Pemenang tender pengadaan barang dan jasa diatas Rp100 Miliar berdasarkan aturan Permenhan No 17 Tahun 2014 adalah kewenangan Pengguna Anggaran, dan ;
3. Bahwa kami mendukung agar proses penegakan hukum yang dilakukan Kejagung dapat membuka fakta yang sebenarnya namun tidak mengorbankan orang yang bekerja secara jujur.
(tfq/kid)