Asvi mewanti-wanti agar proyek penulisan ulang sejarah RI bukan sebagai legitimasi rezim terhadap narasi sejarah Bangsa. Apalagi dengan mengabaikan sejumlah fakta sejarah yang telah banyak ditulis para akademisi.
Dia misalnya menyoroti 12 pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, namun tak masuk dalam outline garis besar buku tersebut. Dari sejumlah peristiwa itu, Kementerian Kebudayaan disebut hanya memasukkan kasus penembakan Tanjung Priok pada 12 September 1984 dan Peristiwa Talangsari, Lampung pada 1989.
Padahal, ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat lain yang telah diakui negara, termasuk di antaranya insiden '65 maupun penculikan aktivis pada '98.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah itu termasuk di dalamnya itu pelanggaran HAM berat yang terjadi tahun 1998. Termasuk penculikan paksa aktivis gitu yang di sini juga melibatkan nama Prabowo Subianto gitu. Menurut pandangan saya ini harus ditulis gitu," katanya.
Dalam banyak kasus, banyak negara menulis sejarahnya sendiri. Namun, umumnya negara-negara tersebut tak menganut sistem demokrasi seperti Jepang, Rusia, hingga Tiongkok.
Jepang misalnya, pernah menulis "New History Texbook Reform" pada 2001. Buku itu dianggap kontroversial karena menghilangkan fakta kejahatan Jepang selama Perang Dunia II terkait pembantaian Nanjing dan eksploitasi terhadap wanita penghibur di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Akibatnya, penulisan sejarah itu menuai reaksi keras dari sejumlah negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan dan berdampak pada hubungan diplomatik Jepang berupa pemboikotan produk negara tersebut di negara-negara Asia Timur.
"Banyak pihak yang menganggap bahwa ya itu kan memalukan gitu," kata Asvi.
Ada pula buku berjudul "History of the Great Patriotic War" yang ditulis pemerintah Uni Soviet. Buku itu menggambarkan Josef Stalin sebagai pahlawan besar dalam Perang Dunia II, namun mengabaikan pelanggaran HAM, kamp konsentrasi GULAG, dan pembersihan politik.
Buku tersebut dikritik oleh sejarawan Rusia karena terlalu memihak dan menyembunyikan kebenaran.
Militerisasi sejarah
Sejarawan Universitas Nasional (Unnas) Jakarta, Andi Achdian berharap pemerintah memasukkan 12 pelanggaran HAM berat dalam proyek penulisan ulang sejarah RI di bawah Kementerian Kebudayaan. Pasalnya, 12 kasus itu telah diakui pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo pada Januari 2023 dan negara telah meminta maaf atasnya.
Apalagi dalam pernyataannya, Jokowi merekomendasikan agar 12 pelanggaran HAM tersebut masuk dalam narasi penulisan sejarah Indonesia.
"Salah satu rekomendasinya adalah memasukkan narasi pelanggaran HAM itu dalam penulisan sejarah Indonesia," kata Andi.
Menurut Andi, negara harus membuka ruang perdebatan publik untuk memperbanyak perspektif. Langkah terbaik untuk melakukan hal itu, mestinya dengan menyerahkan penulisan sejarah pada perguruan tinggi yang bebas dari intervensi pemerintah.
Legitimasi sejarah nasional Indonesia pernah dilakukan pemerintah Orde Baru lewat enam jilid buku yang disunting Nugroho Notosusanto. Menurut Andi, institusi memiliki kesabaran terhadap sejarah.
"Dalam kasus Indonesia, mengapa militer membangun legitimasi sejarahnya ya sejak masa Orde Baru, ketika mereka muncul sebagai kekuatan politik," kata Andi, Kamis (8/5).
Berdasarkan outline tersebut, Andi bilang revisi penulisan sejarah hanya berisi glorifikasi terhadap pemerintahan presiden mulai Sukarno hingga Jokowi.
Sementara, kata Andi, beberapa peristiwa penting, seperti kasus pelanggaran HAM '65 hingga penculikan di akhir Orde Baru tak masuk dalam outline buku tersebut.
"Jadi enggak ada luka sejarahnya. Semuanya baik-baik saja. Nah itu problem dari sejarah official history ya," kata dia.
Menurut Andi, penulisan sejarah resmi oleh negara bukan lagi bicara soal perdebatan soal metode atau pemilihan materi. Menurut dia, negara mestinya juga bertanggung jawab terhadap publik.
Sebab, sejarah juga terkait erat dengan korban kekerasan yang dilakukan negara. Andi menilai negara mestinya harus melihat aspek tersebut.
"Tapi sekarang misalnya bagaimana dengan keluarga korban. Bagaimana dengan komunitas-komunitas lain yang ceritanya disingkirkan dalam sejarah resmi," kata dia.
Asvi mengakui ada upaya militerisasi sejarah oleh pemerintah Orde Baru. Cara itu dilakukan untuk menunjukkan peran Militer dibanding sipil dalam sebuah buku yang diterbitkan pemerintah.
Asvi misalnya, mencontohkan glorifikasi peran militer dalam sejarah pemberontakan PRRI Permesta namun menihilkan peran sipil. Asvi karenanya menduga penulisan ulang sejarah RI khususnya terkait kejahatan HAM Berat karena diduga melibatkan Presiden Prabowo Subianto saat aktif dinas militer.
"Misalnya yang sangat menyolok itu terhadap Prabowo Subianto sendiri gitu. Bahwa ia itu orang yang tersangkut dalam salah satu ya paling tidak pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde baru gitu. Ya menurut saya itu ditulis saja," katanya.
(thr/ugo)