WAWANCARA EKSKLUSIF

Blak-blakan Guru Besar UI Susanto Zuhdi soal Tulis Ulang Sejarah RI

CNN Indonesia
Rabu, 21 Mei 2025 10:36 WIB
Susanto Zuhdi bicara soal proyek penulisan ulang sejarah RI, mulai dari metode penyusunan hingga tema sensitif soal pelanggaran HAM dan arsip baru Sukarno.
Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Aksi ini digelar rutin tiap Kamis sejak 2007 silam, untuk menuntut tanggung jawab negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. (CNN Indonesia /Andry Novelino)

Buku ini akan menjadi bahan edukasi di sekolah?

Buku yang saya sebut terdahulu, itu bukan berarti enggak boleh dipakai atau dilarang dipakai. Yang namanya historiografi itu punya kedudukannya sendiri-sendiri. Justru dengan begitu kita lihat, buku yang sebelumnya sampai di mana? Buku yang ini sampai di mana? Jadi bukan itu enggak harus dipakai. Buku sejarah banyak. Saya juga menulis buku sendiri, loh. Itu dipakai, cuma dalam konteks yang civic education ini, jadi formatnya itu yang dibedakan dari karya-karya sejarawan yang lepas-lepas tadi itu.

Sebagian publik terkejut, kok ada penulisan sejarah ulang. Apa akan ada uji publik materi yang sudah ditulis di buku ini?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada namanya uji petik ya. Kalau di pemerintahan itu mungkin FGD atau apa. Dan sekarang pun ini kan sebenarnya sudah terbuka juga. Memang karena waktunya, kita tulis dulu, dong. Kalau belum tulis, nanti repot. Jadi ada dulu. Sembari jalan ke sana kita terus dengar. Dari YouTube, dari apa, itu kita dengar semua. Sampai nanti, silakan dibaca. Kalau keluar mau direvisi, revisi aja. Biasa aja itu.

Buku SNI yang digarap Pak Nugroho Notosusanto pernah memicu polemik di kalangan sejarawan juga. Bagaimana jika proyek ini nantinya juga memicu polemik?

Itu biasa. Polemik itu akan muncul dari data, dari sumber. Nanti kritik sumbernya udah bener belum dilakukan. Makanya, fakta keras itu mesti sama. Lalu nanti oh ini ada yang kurang. Lengkapi lagi, lengkapi lagi.

Tapi saya tahu lah kira-kira itu nanti yang agak krusial misalnya PKI, G30S itu. Ya, kita tulis berdasarkan fakta. Kalau ada fakta, ada data ya kita tulis. Ya sejauh kita tadi, untuk kebanggaan bangsa enggak nih? Lebih untuk memecah belah apa enggak, misalnya. Frame kita ya ideologi yang sudah kita pegang bersama. Jangan pecah. Kalau dengan sejarah kita pecah, enggak usah aja. Jadi sejarah untuk persatuan, untuk integrasi bangsa, untuk kebanggaan bangsa.

Bukan menafikan bahwa bangsa ini pernah mengalami goncangan, gejolak, ancaman perpecahan. Itu tetap kita gambarkan. Justru dari pengalaman itulah betapa mahalnya sejarah sebuah bangsa di dalam menatap masa depan.

Sebagai sejarah resmi, apakah ke depan buku ini akan menjadi kebenaran versi negara atau kekhawatiran jadi alat propaganda untuk kepentingan tertentu seperti pada masa Orde Baru?

Ya, itu urusan negara. Sejarawan tidak lakukan. Kan, datanya data ilmiah. Kecuali ada yang dihapus sana sini untuk kepentingan tertentu. Tapi saya lihat bukan dalam pengertian itu. Ini dalam pengertian kebijakan yang nanti digunakan untuk civic education, untuk pendidikan dan sebagainya. Sejarah itu, siapa pun bisa menggunakan. Tidak hanya pemerintah, loh. Nanti kalau sudah jadi ini siapa saja [bisa gunakan]. Dilihat celahnya menguntungkan, dia pakai. Ya, kan?

Beberapa pakar atau sejarawan menyebut sejarah Indonesia selama ini terkesan lebih berat ke sudut pandang militer, menurut Profesor sendiri?

Begini, sejarah itu akhirnya harus diterima bersama. itu yang disebut accepted history, bangsa manapun juga begitu. Kalau enggak, berkelahi terus. Kebenaran itu enggak harus yang sesungguhnya benar. Yang nampak benar lalu kita terima bersama sebagai ada manfaat apa yang kita bisa petik.

Periode 45-49, kita sudah selesai untuk tidak, dan ini Presiden [Prabowo] yang ngomong terakhir, Angkatan 45 itu tidak heavy militer. Kurang apa? Pamannya umur 17-18 sudah ditembak Jepang, di Tangerang itu. Tapi, jangan lupa, ada yang namanya Sjahrir, ada yang namanya Soedjatmoko, tokoh-tokoh sosialis itu, ini diplomat-diplomat muda yang sudah berperan besar di PBB waktu kita berjuang Jogja dikuasai Belanda, tapi kita tetap TNI-nya bergerilya. Jadi kerja sama TNI dan masyarakat itu seperti ikan dan air. Cuma ya, masalahnya, semua itu melupakan, baik militer maupun sipilnya. Itu kita ingatkan lagi.

Militer semakin dominan ya karena ada Orde Baru. Padahal kalau enggak ada rakyat, bagaimana dia [militer] selamat dikejar-kejar Belanda? Gerilya itu kan kekuatan rakyat. Jadi jangan dipisah-pisah. Itu sudah selesai. Bahkan kalau kita mau letter lecht faktanya, selesainya diplomasi, lho, bukan militer. KMB siapa? Nah, tapi di unsur itu ada yang namanya Simatupang. Delegasi kita yang komisi militer itu namanya Simatupang. Jadi sebenarnya enggak usah khawatir, harusnya, kalau kita belajar dari sejarah. Tinggal ya sipilnya juga memperkuat diri, dong.

Di jilid tujuh kita menyebut perang kemerdekaan itu tidak hanya fisik, dan itu sudah diakui, sudah accepted. Jadi, suatu zaman itu kan menentukan. Nah, kita kan sudah di masa reformasi sekarang. Sudah enggak ada lagi pengaruh-pengaruh yang seolah-olah mendikte.

Ada beberapa peristiwa sensitif di masa lalu, terutama kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Presiden Jokowi juga sudah mengakui sekitar 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bagaimana buku ini menulis peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut?

Iya, kalau ada data, fakta kerasnya, mungkin masih berupa kronik, ya, karena kita belum bisa terlalu dalam. Karena ini history in the making namanya.

Sebenarnya di antara sejarawan sendiri ada yang menghindari, enggak mau menulis kontemporer. [Alasannya] Itu belum jadi sejarah. Tapi kalau dituntut juga seperti Anda atau saya atau masyarakat masih menunggu, ditulis dulu lah. Masa enggak ditulis sejarah kontemporernya. Tapi harus penuh kehati-hatian. Jadi, adagium kita 'menulis sejarah untuk bersatu' harus diperhatikan juga. Ya, sorry to say, jadinya. Karena kalau mau ini nanti berantakan lagi. Nah, jadi ada wisdom di balik ini semua. 

Jadi, pasti ada diksi, tapi misinya sampai. Bahwa pesan kita dengan sejarah ini kita menjadi lebih kuat, lebih bangga, lebih maju ke depan. Semua kita perhatikan, kita akan tulis sejauh, sebenarnya kalau kita boleh menghindari, kontemporernya itu jangan ditulis dulu. Ini kalau pakai ilmu sejarahnya, ya. Tapi kalau itu ditulis, ya kita harus ada kesepakatan. Jangan sampai kira-kira itu tadi, tujuan kita bernegara, berbangsa. Jadi, ini sejarahnya harus secara lebih bijak untuk ditangani.

Dengan kata lain, untuk pengakuan negara dan 12 kasus pelanggaran HAM berat itu belum ada kesepakatan dari sejarawan yang terlibat untuk kemudian dimasukkan ke dalam buku?

Oh, enggak. Ini kan masih berjalan, bahkan sudah saya cek di editor jilid yang akan menulis HAM, sudah siap dia. Selagi bahan itu ada dan yang namanya official history juga, artinya hard fact sudah ada dan itu sudah terpublikasi, enggak ada yang rahasia sebetulnya. Jadi mungkin masih berupa kronik, berupa data keras, ada ini, ada itu.

Jadi itulah risiko memang kalau sampai sejarah kontemporer ditulis dengan maksud apa kita mau menulis ini?  Antara objektivitas dan subjektivitas, antara cara kita menyampaikan itu juga seni tersendiri, how to write-nya, how to explain-nya, itu sejarawan dihadapkan pada itu. Kita tahu faktornya begini, tapi bagaimana ditulisnya dan interpretasi seperti apa, apalagi yang baca awam seperti kalau publik melihat sejarah itu lebih karena kepentingan. Kalau sejarah lebih dari metodologi teori bagaimana dia disampaikan.

Singkatnya, kekhawatiran-kekhawatiran yang ada, kami berterima kasih karena itu justru menjadi bekal kami untuk sedapat mungkin, selengkap mungkin, seakurat mungkin, dan seterusnya. 

(mab/wis)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER