Pada 13 Mei atau saat kerusuhan besar terjadi di Jakarta, Panglima ABRI Jenderal Wiranto beserta sejumlah jenderal menghadiri peresmian Divisi Kostrad di Malang.
"Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto pun ketika itu ikut ke Malang," ungkapnya.
Yusril mengaku absennya kekuatan militer di ibu kota membuatnya waswas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya waktu itu ngobrol sama Sjafrie Sjamsuddin (Pangdam Jaya). Bagaimana ini mengatasi situasi di Jakarta padahal tentara ke Malang semua," katanya.
Saat itu, Soeharto pun belum kembali dari Mesir. Ditambah kondisi Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid yang sedang sakit, membuat situasi krisis semakin mencekam. Para jenderal dikabarkan baru kembali ke Jakarta pada malam harinya.
Kerusuhan yang pecah di tanah air membuat Soeharto memangkas kunjungan luar negerinya.
Soeharto tiba di Jakarta pada 15 Mei dan langsung memanggil Yusril beserta sembilan tokoh lainnya ke Istana. Para tokoh tersebut diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Direktur Yayasan Paramadina saat itu Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali Yafie, tokoh Muhammadiyah Malik Fadjar dan Sumarsono, Kiai Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, serta dua tokoh NU lainnya, Achmad Bagdja dan Ma'ruf Amin.
Pertemuan Soeharto dengan sepuluh tokoh itu berlangsung sekitar dua setengah jam, dimulai pukul 09.00 WIB hingga mendekati waktu zuhur. Setelah pertemuan, Soeharto mengumumkan rencana merombak susunan kabinet dan mengganti nama Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Ia juga berinisiatif membentuk Komite Reformasi. Menurut Yusril, kedua keputusan itu merupakan buah pemikiran Soeharto sendiri setelah berdiskusi dengan para tokoh tersebut.
Yusril beserta para tokoh lainnya menyarankan agar Soeharto mengundurkan diri demi meredakan krisis nasional.
"Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite ataupun kabinet yang direshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh," ujar Cak Nur, seperti dikutip dalam Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner.
Penolakan itu juga datang dari mahasiswa. Bagi mereka, pembentukan Komite Reformasi dianggap pengalihan isu. Tuntutan mereka hanya satu: Soeharto harus mundur.
"Pak Harto sendiri waktu pulang dari Mesir ingin melakukan reformasi. Oleh karena itulah saya dan kawan-kawan dipanggil ke Istana. Saya bilang ketika itu: Bapak Soeharto harus segera mundur untuk memberi ketenangan pada semua orang," ungkap Yusril.
Tiga hari sebelum pendudukan DPR/MPR, Ketua DPR/MPR Harmoko, yang sebelumnya dikenal loyal terhadap Soeharto, bertemu langsung dengan Soeharto di kediamannya di Cendana. Ia menyampaikan aspirasi rakyat yang mendesak Soeharto mundur.
"Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini," ujar Soeharto, sebagaimana dikutip dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi karya BJ Habibie.
Kemudian, pada 18 Mei 1998, Harmoko bersama para pimpinan DPR secara terbuka menyampaikan bahwa semua fraksi, termasuk fraksi ABRI, meminta Soeharto melepaskan jabatannya.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko merespons tuntutan para mahasiswa.
Puncak eskalasi pun terjadi pada 19 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.
Upaya membentuk Kabinet Reformasi pun kandas. Sebanyak 14 menteri Kabinet Pembangunan VII, termasuk tokoh-tokoh seperti Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, dan Tanri Abeng, menolak bergabung.
Surat penolakan tersebut diterima Soeharto pada malam 20 Mei, lewat tangan Yusril Ihza Mahendra. Surat penolakan itu menjadi pukulan terakhir bagi Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Para pejabat senior di Kementerian Sekretaris Negara kemudian menggelar rapat untuk menyiapkan naskah dan mekanisme pengunduran diri Soeharto, meski tak dilakukan di depan MPR/DPR.
Dini hari pada 21 Mei, Soeharto melalui Yusril meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) Sarwata bin Kertotenoyo lengkap dengan pimpinan MA untuk datang ke Istana dengan membawa toga.
Pada jam 7 pagi, Istana riuh menyiapkan ruangan tempat Soeharto akan berpidato yang akan disaksikan oleh para anggota MA, pimpinan-pimpinan DPR, pejabat negara lainnya hingga para wartawan.
Pagi hari 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia tanpa adanya sidang istimewa, dan Komite Reformasi.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto kala itu.
Wakil Presiden BJ Habibie langsung diambil sumpah untuk menggantikannya.
Dari Gedung DPR/MPR, kampus-kampus, hingga Lapas Cipinang, sorak sorai terdengar membahana bahwa Indonesia memasuki era reformasi.
Presiden BJ Habibie segera menegaskan akan digelar pemilu sesegera mungkin. Ia juga mencabut sejumlah aturan hukum yang represif, mengawali langkah menuju sistem politik yang lebih terbuka.
Indonesia mulai memasuki babak baru keterbukaan politik. Aturan-aturan yang membatasi kebebasan sipil, mengancam hak asasi manusia, dan menghambat demokratisasi politik mulai dipreteli. Proses reformasi berjalan panjang, bahkan masih terus diperjuangkan sampai hari ini, 27 tahun setelah Soeharto lengser.
(kay/wis)