Baru-baru ini, Dedi menerbitkan Surat Edaran Gubernur nomor 51/PA.03/Disdik yang menetapkan jam malam bagi pelajar dari pukul 21.00 hingga 04.00 WIB pada Jumat (23/5). Namun, ada pengecualian yakni dalam kondisi darurat atau bencana, sedang bersama orang tua/wali, atau mengikuti kegiatan yang diketahui orang tua/wali.
"Saya tidak mau mendengar ada kejadian atau peristiwa di atas jam 9 menimpa anak pelajar SMA di Jawa Barat. Kalau ini terjadi, Kepala Dinasnya mundur," tegas Dedi melalui akun Instagram @dedimulyadi71 (29/5).
Dedi meminta Dinas Pendidikan Provinsi Jabar untuk berkoordinasi dengan satuan pendidikan menengah dan pendidikan khusus, hingga Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat.
Razia pelajar di malam hari pun digencarkan. Polres Cianjur telah mencatat 11 pelajar terjaring razia jam malam beberapa waktu lalu. Razia dilakukan di pusat keramaian, jalanan umum, hingga kafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong pelajar.
"Razia dilakukan setiap malam tidak hanya menyasar pelajar yang masih berkeliaran di tempat umum atau pinggir jalan juga menyasar anak usia sekolah yang nongkrong di kafe di atas pukul 21.00 WIB," kata Kapolres Cianjur AKBP Roan Yonky Dilatha mengutip Antara, Kamis (29/5).
Dibalik respon positif dari kebijakan ini, Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) menolak gagasan ini karena menganggap hal ini dapat membatasi ruang ekspresi dan kreativitas anak.
"Iya sangat keberatan. Jadi nilai edukasinya dimana, itu kan anak sudah sekolah dari pagi sampai sore, terus malam enggak boleh main, keliru dong," ujar Ketua Fortusis Jawa Barat Dwi Subianto, Selasa (27/5) dikutip DetikJabar.
Meski demikian, Pemprov Jawa Barat tetap menegaskan peraturan ini sebagai perlindungan dari anak. Aktivitas malam pelajar tidak sepenuhnya dibatasi, asal di bawah pengawasan orang tua atau wali.
Sejumlah kebijakan lain yang mewarnai 100 hari kepemimpinan Dedi Mulyadi yakni larangan pelaksanaan acara perpisahan dan wisuda yang melibatkan pungutan biaya dari siswa yang tertuang Dalam Surat Edaran Nomor 6685/PW.01/SEKRE. Disdik Jabar meminta agar kegiatan tersebut digelar secara sederhana di lingkungan sekolah, tanpa melibatkan kepala sekolah, guru, atau tenaga kependidikan sebagai panitia.
Tak hanya wisuda, Dedi juga melarang kegiatan study tour di lingkungan satuan pendidikan di Jawa Barat dalam SE Gubernur Jabar Nomor 64 Tahun 2024. Ia menegaskan bahwa kegiatan semacam ini kerap menjadi beban finansial bagi orang tua siswa.
Bahkan, Dedi mencopot kepala sekolah di SMK Depok karena dianggap melanggar aturan dengan tetap menggelar karyawisata. Namun, ia meluruskan bahwa bukan seluruh study tour yang dilarang, melainkan yang bersifat memberatkan ekonomi keluarga siswa.
Kebijakan lainnya adalah penghentian sementara penyaluran dana hibah untuk yayasan pendidikan, termasuk yang berbasis agama. Menurut Dedi, banyak penyelewengan dana dan ketidakjelasan penggunaan anggaran oleh yayasan-yayasan yang tidak diverifikasi.
Ia berencana menyalurkan bantuan pendidikan berbasis pada program yang terukur dan bukan berdasarkan kedekatan politik. Ia juga menyatakan komitmen Pemprov Jabar untuk tetap mendukung pembangunan madrasah, terutama Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, asal verifikasi data dan kebutuhan sudah jelas.
Dedi juga sempat menginstruksikan pembongkaran proyek Hibisc Fantasy di Puncak, Bogor, yang dikelola BUMD milik Pemprov Jabar karena dinilai menyalahi izin pengelolaan lahan. Hibisc Fantasy disebut mendapatkan izin mengelola lahan sekitar 4.800 meter persegi. Namun, nyatanya Hibisc Fantasy mencakup lahan hingga 15.000 meter persegi.
Dedi juga mengaku siap mencabut Perda Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2022 yang disebut menjadi penyebab banyaknya bangunan berdiri di kawasan hijau. Pembongkaran ini dilakukan setelah terjadinya tanah longsor hingga rusaknya fasilitas umum akibat banjir bandang di Cisarua, Bogor.
Kebijakan lainnya juga menghasilkan pembentukan Satgas Anti Premanisme yang menuai polemik dan kritikan. Salah satu yang mengkritik pembentukan Satgas Anti Premanisme yakni dari Ormas Grib Jaya diketuai Hercules Rosario de Marshall.
Ormas Grib Jaya sempat mengultimatum Dedi Mulyadi agar tidak mengganggu kegiatan ormas yang dapat berpotensi menjadi konflik. Menanggapi hal itu, Dedi tak gentar dan siap dengan konsekuensi apapun demi memberikan rasa aman kepada masyarakat Jawa Barat dan para investor.
Selama masa jabatannya, Dedi Mulyadi dikenal aktif membagikan aktivitas kesehariannya melalui media sosial, mulai dari sidak hingga curhat warga.
Keaktifannya dalam media sosial terlihat dengan tingginya jumlah pengikut Dedi di Instagram @dedimulyadi71 dan Youtube @kangdedimulyadichannel. Di Instagram, jumlah pengikut Dedi mencapai angka 4,6 juta dengan total 6.957 unggahan. Sementara di Youtube jumlah pelanggan atau subscriber Dedi mencapai 7,69 juta.
Hal ini membuatnya disentil dengan sebutan "Gubernur Konten" oleh netizen. Gaya komunikasinya yang blak-blakan, ekspresif, dan personal kerap membuat unggahannya viral. Dedi sendiri tak mempermasalahkan sentilan tersebut. Malah, ia mengaku konten media sosialnya berhasil menekan anggaran iklan Pemprov Jabar dari Rp50 miliar menjadi Rp3 miliar.
"Alhamdulillah dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan. Biasanya iklan di Pemprov Jabar kerja sama medianya Rp50 miliar. Sekarang cukup Rp3 miliar tapi viral terus," kata Dedi.
Strategi ini tak hanya efisien, tapi juga menguntungkan secara pribadi. Mengutip InsertLive, kanal YouTube-nya ditaksir menghasilkan Rp644 juta hingga Rp10,23 miliar per bulan menurut Social Blade, jauh melampaui gaji gubernur.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat kekayaan Dedi sebesar Rp12,8 miliar, sebagian besar berupa aset. Meski tak merinci pendapatan dari YouTube, Dedi mengakui media sosial jadi bagian penting dari strateginya.
Pakar komunikasi politik Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro menilai pendekatan komunikasi politik yang dilakukan Dedi Mulyadi bersifat personalistik. Ia menyebut Dedi aktif menyapa publik melalui berbagai kanal media sosial untuk membentuk citra sebagai pemimpin yang dekat, responsif, dan empatik.
"Pendekatan itu dilakukan dengan menyapa publik secara langsung melalui beragam kanal media, tidak hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun narasi sebagai pemimpin yang merakyat, responsif, dan empatik," kata Verdy kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/4).
Verdy menilai strategi ini bukan hal baru, karena telah dipraktikkan oleh tokoh seperti Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
"Secara teknis bukan sepenuhnya baru. Pendekatan serupa sudah diadopsi mantan Presiden Jokowi dan juga banyak dipraktikkan oleh pemimpin populis di negara demokrasi," ujarnya.
Ia mengapresiasi kemampuan Dedi dalam menyesuaikan pola komunikasi dengan karakter publik Jawa Barat yang didominasi generasi muda dan aktif secara digital. Menurutnya, keberhasilan komunikasi politik terletak pada relevansi saluran dan pesan.
"Langkah Dedi bisa dinilai sebagai adaptasi strategis yang kontekstual," ucapnya.
Namun, Verdy juga memberi catatan agar pendekatan ini tidak berlebihan.
"Jika terlalu berlebihan, bisa terjebak dalam komunikasi politik yang artifisial, di mana persepsi menjadi lebih penting dari pencapaian kebijakan," tambahnya.
Senada dengan Verdy, Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai gaya komunikasi Dedi memang mirip dengan Jokowi, namun berpotensi menjadi monolog jika tidak melibatkan media secara aktif.
"Saya mengkritik kalau misalkan memang ada arahan lebih sifatnya satu arah ketika itu dilakukan oleh Kang Dedi karena kalau mencontoh Pak Jokowi saya tahu beliau justru intens melibatkan media," kata Agung, Selasa (29/4) malam.
Ia menekankan pentingnya komunikasi yang tidak hanya berorientasi pada viralitas semata, melainkan juga membangun sistem birokrasi yang efektif dan berkelanjutan.
"Tujuan utamanya bukan viral, ini yang harus saya garis bawahi. Ini juga masukan buat Kang Dedi Mulyadi, tujuan utamanya apakah setelah efisien itu efektif?" ujar Agung.
Agung juga mendorong agar semangat transparansi dan komunikasi digital tidak hanya berhenti pada Dedi, melainkan menjadi budaya di seluruh jajaran pemerintahannya. Ia khawatir, tanpa tim yang solid dan sistem yang kuat, gaya kepemimpinan Dedi hanya akan bersifat sementara.
"Jangan sampai legasi beliau, kebijakan beliau, inovasi beliau untuk masyarakat Jawa Barat, itu hanya ada ketika beliau menjabat. Tapi setelah itu balik lagi masalahnya," tegasnya.
Ia mengingatkan agar konten-konten yang dibuat mempertimbangkan proporsionalitas, profesionalisme, dan kepentingan semua pihak.
"Jangan sampai memang kesannya terlalu kelihatan agenda setting-nya, framing-nya. over publicity, over apapun seperti itu tidak baik bagi Kang Dedi juga," katanya.
Agung menegaskan bahwa komunikasi publik yang sehat harus bersifat dialogis dan tidak menutup ruang bagi masukan.
"Harapan saya kedepannya, bukan hanya soal kontennya, tapi juga bisa berkolaborasi dengan media lain atau para pihak yang selama ini concern di situ. Karena kan komunikasi itu harus dua arah. Apa yang dilakukan Kang Dedi ini kan searah, monolognya. Nah, enggak bisa. Kalau dia pejabat publik, dia harus dua arah. Ada stakeholder terkait yang harus dia rangkul," pungkasnya.
Dalam 100 hari pertamanya, Dedi Mulyadi tampil dengan gaya kepemimpinan yang agresif, populis, dan penuh gebrakan. Sejumlah programnya menarik dukungan, tapi tak sedikit pula yang menimbulkan kontroversi dan kritik tajam dari lembaga-lembaga negara maupun organisasi sipil.
(fra/kay/fra)