Amnesty Internasional Indonesia mendesak pemerintah RI untuk mengajukan investigasi terkait aksi perbudakan dan penyiksaan yang dialami oleh WNI di Kamboja.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai seharusnya pemerintah dapat melakukan upaya bilateral agar kasus perbudakan hingga penyiksaan yang dialami WNI pencari kerja di Kamboja dapat dihentikan.
Menurutnya pemerintah memiliki hak untuk memaksa pemerintah Kamboja agar dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan atas kejahatan internasional berupa perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah semakin banyak pencari kerja termasuk warga Indonesia yang menjadi korban," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6).
"Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa Kedutaan Besar RI di Kamboja memiliki sumber daya yang cukup untuk menyediakan informasi dan dukungan mendesak bagi para pencari kerja Indonesia yang mengalami kesulitan di Kamboja," imbuhnya.
Dalam laporan terbarunya, Amnesty International menyebut pemerintah Kamboja secara sengaja mengabaikan aksi pelanggaran HAM mulai dari perbudakan, perdagangan manusia hingga eksploitasi anak.
Aksi itu dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks perusahaan penipuan online atau scam yang ada di negara tersebut. Kebanyakan korban termasuk WNI mengaku melamar pekerjaan di Kamboja dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan pihaknya justru menemukan para korban diperdagangkan dan ditahan dalam kompleks serta dipaksa melakukan penipuan daring.
"Dibohongi, diperdagangkan dan diperbudak - para penyintas kompleks penipuan ini menggambarkan diri mereka terjebak dalam suatu mimpi buruk, dipaksa menjadi bagian dari jaringan kriminal yang tampaknya direstui pemerintah Kamboja," tuturnya.
Dalam riset yang dilakukan selama 18 bulan, Amnesty mengunjungi 52 kompleks penipuan yang tersebar di 16 kota di Kamboja, serta 45 lokasi lain yang juga diduga kuat merupakan kompleks penipuan.
Amnesty menyebut kebanyakan bangunan merupakan kasino atau hotel yang ditinggalkan sejak pemerintah Kamboja melarang perjudian daring pada 2019. Operasi itu disebut dilakukan oleh geng kriminal yang sebagian besar merupakan warga Cina.
Kompleks-kompleks tersebut dilengkapi kamera pengawas, kawat berduri di sekeliling dinding dan dijaga petugas keamanan yang tongkat listrik atau senjata api.
Sebagian besar korban dipikat ke Kamboja melalui iklan pekerjaan palsu di media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Setelah diperdagangkan, mereka dipaksa menghubungi orang-orang melalui platform media sosial dan membangun percakapan untuk menipu mereka.
"Penipuan itu termasuk hubungan asmara palsu, investasi bodong, penjualan barang yang tidak pernah dikirim, atau membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi secara finansial, yang dikenal sebagai pig-butchering," jelasnya.
(tfq/gil)