Agung mengatakan putusan MK itu menimbulkan pertanyaan soal masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD yang semula habis pada 2029.
Untuk kepala daerah, kata dia, masih ada opsi ditunjuk Penjabat sementara (Pjs) atau Pelaksana Tugas (Plt). Namun, opsi itu tidak memungkinkan untuk para anggota DPRD.
"Apakah diperpanjang masa jabatannya dari 5 tahun ke 7 tahun atau di PAW nih, digantikan sama nomor-nomor di bawah yang belum terpilih misalkan," kata Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Opsinya perpanjangan, dan itu efeknya ke revisi undang-undang pemilu dan buat DPR kita capek, komisi II jadi tambah kerjaan istilahnya, itu salah satu mudarat," imbuh dia.
Agung juga menyoroti soal model keserantakan yang nantinya akan tetap dilakukan di pemilu lokal.
Dengan model itu, menurutnya ada potensi perhatian pemilih juga akan lebih tersedot ke Pilgub ketimbang Pilwako atau Pilbup.
"Misalkan Jawa Barat lagi ramai Kang Dedi Mulyadi Pilgub 2031, otomatis 29 kota/kabupaten di Jabar itu kan akhirnya gak terlalu dilirik sama pemilih, padahal mereka tinggal di kota/kabupaten mereka sendiri. Akhirnya tersedot di Pilgub ketimbang di Pilwako sama Pilbup," kata Agung.
Sementara itu, Neni mengatakan putusan MK itu tidak bisa berdiri sendiri. Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada dinilai menjadi hal yang mutlak dan mendesak secara terbuka, partisipatif, dan bebas dari kepentingan jangka pendek elite politik.
"Kedua undang-undang tersebut harus segera dibahas ulang secara menyeluruh, terintegrasi, dan menggunakan metode kodifikasi, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan serta menciptakan sistem yang mudah dipahami oleh penyelenggara dan masyarakat," katanya.
Ia mendorong DPR mencari cara paling tepat dalam menghadirkan pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional digelar pada 2029 sementara pemilihan lokal pada 2031.
Neni mempertanyakan proses transisi jabatan di tingkat lokal.
"Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, jabatan gubernur, bupati, walikota apakah akan ada penunjukan untuk pelaksana tugas atau pejabat sementara atau memperpanjang masa jabatan. Namun jika hal ini terjadi juga harus diantisipasi ancaman baru terhadap prinsip mandat rakyat," kata Neni.
Neni mengatakan pemisahan pemilu membuka peluang untuk memulihkan kembali ruang kontestasi lokal yang selama ini terbenam oleh euforia nasional.
Menurutnya, momen ini bisa mendorong munculnya pemimpin lokal berbasis rekam jejak, bukan popularitas instan.
Namun, kata dia, hal itu tidak akan terjadi jika tidak dibarengi dengan reformasi politik partai di daerah dan pembatasan oligarki politik lokal.
"DEEP mendesak agar pemisahan ini tidak berhenti di jadwal teknis, tetapi harus menyentuh desain ulang sistem pemilu yang lebih adil. Termasuk sistem pencalonan, pendanaan politik, ambang batas pencalonan, dan pendidikan pemilih. Tanpa itu, yang terjadi hanya pengulangan siklus kerusakan lima tahunan yang lebih sering dan lebih mahal," ujarnya.
(fra/yoa/fra)