Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Masyarakat untuk Toleransi (Formassi) Jawa Barat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mendapat informasi ada mediasi yang melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, tokoh masyarakat, serta aparat kepolisian.
Dalam musyawarah itu disepakati rumah singgah di Cidahu akan difungsikan kembali sebagai tempat tinggal pribadi dan bukan tempat ibadah. Warga yang terlibat dalam perusakan juga menyatakan kesediaan untuk mengganti kerugian atas kerusakan yang ditimbulkan.
Menurut koalisi, tindakan intimidasi, perusakan fasilitas, dan perusakan atribut keagamaan serta pernyataan dari Forkopimcam sangat bertentangan dengan prinsip dan konstitusi Indonesia sebagai negara hukum, serta penghormatan atas kebebasan berkumpul dan berserikat sebagaimana tertulis dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menolak penyelesaian damai semu yang mengabaikan proses hukum dan keadilan bagi korban," kata koalisi (Selasa (1/7) dilansir dari keterangan resminya.
Koalisi mengatakan peristiwa di Cidahu menjadi pengingat serius betapa penting menjunjung toleransi antarumat beragama dan perlunya penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Untuk itu, koalisi mendesak aparat kepolisian untuk melakukan proses penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Selain itu, koalisi menuntut Kementerian Agama untuk bertindak tegas dan bertanggung jawab atas aksi intoleransi yang terjadi di Cidahu.
"Pembiaran terhadap tindakan pelarangan ibadah, pengusiran, dan intimidasi merupakan bentuk kelalaian negara dalam menjamin hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," ucap koalisi.
Di tengah kegagalan Gubernur Jawa Barat dalam mencegah keberulangan kasus intoleransi (principle of non-repetition), Peneliti KBB SETARA Institute Achmad Fanani Rosyidi meminta Presiden Prabowo menunjukkan ketegasannya guna mewujudkan jaminan konstitusi terutama Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan melaksanakan Asta Cita sebagai visi politiknya.
Kata dia, Prabowo sudah seharusnya menyelaraskan agenda pemajuan KBB dan toleransi menjadi bagian dari agenda prioritas pembangunan negara.
Selain itu, Fanani mengatakan pemerintah pusat mesti mengefektifkan penanganan kebijakan diskriminatif termasuk memenuhi mandat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Badan Regulasi Nasional, yang memastikan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU secara lebih sistematis dalam suatu sistem perencanaan yang saksama.
Selain itu, Fanani meminta Menteri Agama untuk meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan badan khusus dan melalui Peraturan Presiden 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
Hal itu bertujuan agar tidak memicu konflik baru antar-sesama umat beragama di lapangan.
Lebih lanjut, Fanani mendorong Menteri Dalam Negeri agar memastikan pengarusutamaan inclusive governance bagi pemerintah daerah dengan menerbitkan kebijakan khusus tata kelola yang inklusif dalam mengelola kemajemukan republik.
"Pemerintah Pusat hendaknya segera memiliki kesadaran bahwa intoleransi yang dibiarkan akan menjadi bom waktu yang melemahkan kebinekaan dan merusak modal sosial dalam pembangunan bangsa dan negara," ucap Fanani mengingatkan.
(ryn/isn)