UNFPA & BKKBN Soroti Krisis Fertilitas Bukan Karena Tak Mau Punya Anak

Kemendukbangga/BKKBN | CNN Indonesia
Jumat, 04 Jul 2025 13:15 WIB
Foto: Arsip Kemendukbangga/BKKBN.
Jakarta, CNN Indonesia --

Banyak orang di dunia, termasuk Indonesia, ternyata tidak bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Bukan karena tak ingin menjadi orang tua, tapi karena faktor ekonomi, sosial, hingga ketimpangan gender menjadi penghalang utama.

Hal ini disoroti dalam laporan terbaru UNFPA dan BKKBN lewat State of World Population Report (SWP) 2025. Laporan yang berjudul "Krisis Fertilitas Sesungguhnya" itu menunjukkan bahwa satu dari lima orang di 14 negara, termasuk Indonesia, memperkirakan tak akan bisa membentuk keluarga sebesar yang mereka impikan.

Di Indonesia, survei yang melibatkan 1.015 responden mengungkap bahwa biaya tinggi membesarkan anak, kesulitan perumahan, hingga ketidakpastian pekerjaan menjadi alasan utama mereka tidak bisa memiliki anak sesuai keinginan.

"Krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tapi tidak mampu. Laporan ini menemukan bahwa dari responden yang disurvey, lebih dari 70% orang ingin punya dua anak atau lebih," kata Hassan Mohtashami,
United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Representative pada press briefing SWP 2025 di Jakarta, Kamis (3/7).

Menurutnya, solusi dari fenomena ini dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan reproduksi individu, seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, hingga kebijakan keluarga ramah gender.

Sementara itu, Deputi Pengendalian Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN), Bonivasius Prasetya Ichtiarto menegaskan pihaknya berperan dalam memastikan pembangunan keluarga yang berkualitas dan pembangunan kependudukan yang fokus pada manusia.

Pemerintah sudah menyiapkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) untuk 20 tahun ke depan yang kemudian dioperasionalisasikan melalui Peta Jalan Pembangunan Kependudukan 5 tahunan. Desain ini akan implementasi dalam bentuk Rencana Aksi per tahun.

Bonivasius mengatakan, laporan SWP ini akan menjadi masukan dari kebijakan kependudukan.

"Pemerintah juga sudah memiliki strategi dan program dalam mengoptimalkan layanan KB, kesehatan ibu dan anak, angkatan kerja perempuan, serta kesejahteraan keluarga seperti Quick Wins Kemendukbangga yang di antaranya ada Taman Asuh Sayang Anak," katanya.

Bonivasius mengatakan implementasi program Kemendukbangga/BKKBN yang disusun dalam bentuk Peta Jalan Pembangunan Kependudukan dan Rencana Aksi di tingkat daerah disusun secara asimetris. Hal ini karena capaian program Kemendukbangga/BKKBN antar daerah berbeda, seperti dalam capaian total fertility rate (TFR).

"Di kota-kota ada tekanan ekonomi sehingga TFR cenderung rendah di bawah 2. Tapi di sejumlah daerah masih tinggi di atas 2,5 seperti di Papua dan NTT. Masih terjadi disparitas. Maka, pendekatan atau intervensinya harus berbeda antar daerah," ujar Bonivasius.

Ia juga menyoroti fenomena childfree secara global, termasuk di Indonesia. Menurutnya, angka childfree di Indonesia masih sangat rendah, sehingga belum menjadi ancaman, namun tetap perlu diperhatikan.

"Angka childfree di negara kita sangat rendah, masih 0,001 persen. Namun fenomena ini harus menjadi perhatian kita juga, karena sudah terjadi di beberapa negara," ujar Bonivasius.

Fakta dari Laporan SWP 2025

Dalam laporan SWP 2025, terdapat sejumlah fakta yang memberikan gambaran terhadap situasi global, termasuk di Indonesia. Data ini menyebutkan bahwa kebanyakan orang ingin memiliki dua anak atau lebih (62% perempuan, 61% laki-laki). Di Indonesia, 74% perempuan dan 77% laki-laki ingin memiliki dua anak atau lebih.

Sementara itu hampir 20% orang, di bawah usia 50 tahun, memperkirakan tidak akan mencapai jumlah keluarga yang mereka inginkan. Di Indonesia, 17% percaya bahwa mereka akan memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan, sementara 6% percaya bahwa mereka akan memiliki lebih banyak.

Lebih dari 40% orang yang berusia di atas 50 tahun tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia, 40% memiliki lebih sedikit dari yang ideal, 8% memiliki lebih banyak, 38% mencapai jumlah ideal.

Data-data ini juga menunjukkan alasan yang mereka ungkapkan. Keterbatasan finansial menjadi alasan utama orang tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia, ada tiga alasan utama, yakni keterbatasan finansial (39%), keterbatasan perumahan (22%), dan ketidakamanan pekerjaan/pengangguran (20%).

Satu dari lima responden mengatakan ketakutan akan masa depan (termasuk perang, pandemi, politik, dan perubahan iklim) akan menyebabkan mereka memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan. Di Indonesia, 14% responden menyebutkan kekhawatiran tentang situasi politik atau sosial dan 9% menyebutkan perubahan iklim sebagai hambatan untuk memiliki anak.

Satu dari tiga responden mengatakan bahwa mereka atau pasangannya pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Indonesia memiliki persentase responden terendah yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, yaitu kurang dari 20%.

Satu dari empat responden pernah mengalami masa ketika mereka ingin memiliki anak tetapi merasa tidak mampu. Indonesia berada di peringkat lima teratas di antara 14 negara yang respondennya mengatakan bahwa mereka merasa tidak mampu untuk memiliki anak pada waktu yang mereka inginkan, yaitu lebih dari 20%.

Sebesar 13% responden pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan dan masa ketika mereka ingin memiliki anak tetapi merasa tidak mampu. Meskipun Indonesia memiliki angka kehamilan yang tidak direncanakan terendah dari negara-negara lainnya, permasalahan ketidakmampuan untuk memiliki anak di saat yang diinginkan tetap menjadi tantangan.

Sebanyak 14% responden mengatakan mereka tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan karena mereka tidak memiliki pasangan atau tidak memiliki pasangan yang cocok. Di Indonesia, hanya 4% yang menyebutkan kurangnya pasangan (yang cocok) sebagai hambatan untuk memiliki anak.

Terdata, 18% pernah mengalami situasi di mana mereka tidak dapat mengakses layanan medis atau kesehatan yang terkait dengan kontrasepsi atau prokreasi. Di Indonesia, 17% pernah mengalami situasi di mana mereka tidak dapat mengakses layanan medis atau kesehatan yang terkait dengan kontrasepsi atau prokreasi.

Perlu Pendekatan Humanis dan Inklusif

Laporan UNFPA memperingatkan agar negara tidak mengandalkan kebijakan populasi yang simplistik, seperti insentif finansial atau bonus bayi semata. Pendekatan semacam itu kerap tidak efektif dan dapat melanggar hak asasi manusia.

UNFPA mendorong pemberdayaaan masyarakat agar dapat membuat keputusan reproduksi secara bebas. Termasuk dengan berinvestasi pada perumahan yang terjangkau, pekerjaan yang layak, cuti melahirkan, dan berbagai layanan kesehatan reproduksi serta informasi yang dapat diandalkan.

UNFPA juga mendorong masyarakat untuk mengatasi ketimpangan gender yang memperlemah pilihan fertilitas. Kombinasi langkah-langkah ekonomi, sosial, dan politik yang disesuaikan di setiap negara dibutuhkan untuk membantu masyarakat membentuk keluarga yang mereka inginkan.

"Ketika para pembuat kebijakan mempertimbangkan cara menavigasi dinamika kependudukan yang berubah, UNFPA siap mendukung mereka dalam memahami tantangan yang mereka hadapi, dan merancang solusi yang akan memastikan hak dan pilihan bagi semua orang," tutur Hassan Mohtashami.

(ory/ory)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK