Daud sebelumnya juga telah mengumumkan perlawanan dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Jakarta.
Menurut Yusril, Natsir memahami kekecewaan Daud Beureueh atas pembubaran Provinsi Aceh.
Natsir saat itu disebut menitipkan pesan kepada Daud Beureueh melalui Osman Raliby agar menahan diri dari perlawanan.
Namun, lanjut dia, Daud Beureueh menjawab bahwa "nasi sudah menjadi bubur" dan telah menyingkir dari Ibu Kota Aceh, Kutaraja dan masuk hutan untuk melakukan perlawanan, meskipun saat itu belum mengumumkan berdirinya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TI) yang baru dilakukan pada 1953.
Walaupun Provinsi Aceh kembali terbentuk pada 1956 dan dipisahkan dari Sumatera Utara, menurut dia, Daud Beureueh telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pusat.
Belakangan, Yusril mengatakan DI/TII Aceh yang dipimpinnya menyatakan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan RPI (Republik Persatuan Indonesia) sebagai gabungan PRRI-Permesta pada 1958.
"Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureueh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republikan yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat," ujar Yusril.
Oleh karenanya, ia menilai sejarah tentang Daud Beureueh perlu ditulis ulang sebagai pejuang RI sejati, dengan jasa-jasa yang tak ternilai bagi bangsa dan negara, sehingga sudah saatnya diangkat menjadi pahlawan nasional.
(yoa/wiw)