MK Tolak Gugatan Redenominasi Rupiah: Itu Ranah Pembentuk UU

CNN Indonesia
Jumat, 18 Jul 2025 21:20 WIB
Ilustrasi rupiah. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan atas kebijakan redenominasi mata uang rupiah pada Jumat (18/7). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan atas kebijakan redenominasi mata uang rupiah. Dalam Perkara Nomor 94/PUU-XXIII/2025 pemohon meminta penyederhanaan digit nominal mata uang tanpa mengurangi nilai riilnya.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat redenominasi rupiah merupakan domain kebijakan moneter yang sepenuhnya dipegang pembentuk UU.

MK mengatakan kebijakan itu memerlukan pertimbangan yang komprehensif dari aspek makro ekonomi, stabilitas fiskal dan moneter, kesiapan infrastruktur sistem pembayaran, hingga literasi keuangan masyarakat.

"Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan permohonan, Jumat (18/7). 

Pada perkara itu, pemohon menggugat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU 7/2011 tentang Mata Uang.

Majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c yang hanya mengatur kewajiban pencantuman pecahan nominal dalam angka dan huruf.

Sehingga, tidak dapat semata-mata ditafsirkan sebagai penghalang atau penyebab langsung belum dilaksanakannya redenominasi.

"Kebijakan redenominasi mata uang rupiah tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah atau memaknai norma sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum.

Enny menjelaskan bahwa redenominasi mata uang rupiah merupakan kebijakan fundamental yang memiliki konsekuensi luas terhadap sistem moneter, transaksi keuangan, dan psikologi ekonomi masyarakat.

Oleh karenanya, semuanya menjadi ranah pembentuk Undang-Undang untuk merumuskan kebijakan redenominasi mata uang rupiah berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial, dan stabilitas nasional.

Melalui gugatannya, pemohon menyebut bahwa pasal yang digugat bertentangan dengan Konstitusi UUD NRI 1945.

Pemohon berpendapat bahwa banyaknya angka nol dalam mata uang rupiah dinilai tidak efisien, sedangkan banyak negara di luar negeri yang memangkas angka nol di mata uangnya sekaligus menandakan stabilitas ekonomi negaranya.

Selain itu, pemohon menyebut persoalan lainnya berupa kebiasaan dalam menghitung denominasi yang besar pada mata uang tersebut berdampak pada kesalahan hitung saat bertransaksi, terutama saat pembayaran digital menggunakan QRIS.

Kesalahan transaksi akibat angka nol yang begitu banyak ini dinilai dapat membuka peluang kejahatan, misalnya jika kasir atau sistem tidak jujur, mereka bisa saja mengabaikan kesalahan ini dan tidak mengembalikan kelebihan pembayaran.

(mnf/chri)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK