Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menghukum mantan Lurah Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, periode 2015-2017, Herman (63), dengan pidana 1 tahun 4 bulan penjara terkait kasus korupsi.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Herman oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 4 bulan," ujar ketua majelis hakim Iwan Irawan saat membacakan amar putusan, Senin (21/7).
Hakim juga menghukum Herman membayar denda Rp 50 juta. Adapun jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Dalam putusannya, hakim menyatakan Herman bersalah dalam kasus permintaan fee 10 persen secara paksa untuk mengesahkan Surat Pernyataan Tidak Sengketa dan Penguasaan Fisik (Sporadik) serta rekomendasi tanah.
Hakim menyatakan masa penangkapan dan penahanan Herman dikurangi sepenuhnya dari hukuman yang dijatuhkan.
Saat dikonfirmasi mengenai sikap terkait putusan tersebut, Herman menyatakan pikir-pikir. Ada batas waktu tujuh hari kerja untuk memutuskan sikap terhadap putusan: menerima atau banding.
"Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan," kata hakim.
Vonis tersebut lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat yang ingin Herman dihukum dengan pidana 1 tahun 6 bulan penjara.
Menurut jaksa, Herman telah terbukti melanggar Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Herman disebut menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Herman disebut meminta komisi atau uang dari warga bernama Effendi Abdul Rachim yang hendak menjual tanah orang tuanya H. Abd. Rochim kepada Pranoto Gading pada tahun 2016.
Tanah tersebut diperoleh Abd. Rochim pada 25 Juni 1975 dengan harga Rp3,5 juta, dan hendak dijual dengan nilai Rp2.878.774.000 pada tahun 2016.
Proses jual beli itu membutuhkan sejumlah dokumen yang beberapa di antaranya perlu tanda tangan lurah setempat. Dalam pengurusan ini, Herman disebut meminta komisi 10 persen dari harga jual tanah.
Herman memaksa saksi Effendi Abdul Rachim untuk memberikan komisi sebesar 10 persen dari harga jual tanah untuk menandatangani atau mengesahkan Surat Pernyataan Tidak Sengketa dan Penguasaan Fisik (Sporadik) serta Rekomendasi Tanah.
Effendi terpaksa memenuhi permintaan Herman karena membutuhkan surat tersebut. Dia pun meminta kepada calon pembeli tanahnya untuk membayarkan uang muka sebesar Rp500 juta.
Sebanyak Rp200 juta di antaranya diserahkan kepada Herman melalui saksi Darusman yang pada akhirnya menerima sebagian uang Rp10 juta.