Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menegaskan pemerintah kini tak wajib untuk memberikan perlindungan kepada eks anggota marinir, Satria Arta Kumbara yang menjadi tentara bayaran Rusia untuk berperang melawan Ukraina selama dua tahun terakhir.
Namun, menurut Hasan, pemerintah harus memastikan terlebih dahulu status kewarganegaraan Satria. Jika bukan lagi WNI, pemerintah tak lagi memiliki kewajiban untuk memberi perlindungan.
"Apabila sudah diproses dan/atau mungkin telah ditetapkan bahwa yang bersangkutan kehilangan status WNI-nya oleh Kementerian Hukum, maka bukan menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada yang bersangkutan," kata Hasan dalam keterangannya, Selasa (22/7).
Meski begitu, merujuk Pasal 23 huruf d UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, kata Hasan, seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin presiden.
Ketentuan itu lebih lanjut diatur dalam Pasal 31 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022. Kemudian, Pasal 32 menyebutkan, proses kehilangan kewarganegaraan harus diawali dengan pelaporan dari instansi terkait kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Oleh karenanya, kata dia, pemerintah harus memverifikasi terlebih dahulu apakah proses administratif tersebut telah berjalan dan apakah status Satria kini masih sebagai WNI atau tidak.
"Perlu dicek kembali ke kementerian-kementerian tersebut, apakah Saudara Satria sudah diproses kehilangan status kewarganegaraannya," kata politikus PDIP itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menyebut isu Satria perlu disikapi cermat.
Dave juga mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menyebutkan, seseorang akan kehilangan kewarganegaraan jika secara aktif bergabung dengan militer asing tanpa izin pemerintah.
Karena itu, kata Dave, pemerintah perlu memastikan secara administratif apakah yang bersangkutan sudah kehilangan atau melepaskan kewarganegaraannya sesuai aturan hukum.
"Secara prinsip, Komisi I tidak akan memberikan toleransi terhadap tindakan yang berpotensi mengganggu integritas negara. Namun, kami juga menjunjung tinggi asas due process of law dalam setiap penegakan hukum dan kebijakan publik," kata politikus Golkar itu.
Kementerian Hukum hingga saat ini belum bersuara soal status Satria. Sementara, TNI AL tetap berpegang pada putusan pengadilan Militer II-08 Jakarta, tanggal 6 April 2023 yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Putusan itu menyatakan Satria Arta Kumbara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana desersi dalam waktu damai terhitung mulai 13 Juni 2022 hingga saat ini. Satria dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun, disertai tambahan hukuman berupa pemecatan dari dinas militer.
"Akte Putusan Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (AMKHT) ditetapkan pada 17 April 2023, menandakan bahwa keputusan tersebut sah dan tidak dapat diganggu gugat," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Tunggul.
Dalam video yang beredar di media sosial, Satria mengungkap keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Dia memohon maaf atas ketidaktahuannya yang menyebabkan pencabutan status kewarganegaraan Indonesia.
"Mohon izin Bapak. Saya ingin memohon maaf sebesar-besarnya apabila ketidaktahuan saya menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia mengakibatkan dicabutnya warga negara saya," ujarnya.
(thr/kid)