Adakah Kejanggalan dalam Vonis 4,5 Tahun Penjara Tom Lembong?
Pemberian vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta terhadap eks Mendag Tom Lembong di kasus korupsi impor gula dinilai keliru oleh sejumlah pakar hukum
Dalam persidangan pada Jumat (18/7) kemarin, Tom juga diberikan hukuman denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ingin Tom dihukum dengan 7 tahun penjara.
Hal memberatkan dalam pertimbangan Majelis Hakim yakni Tom dinilai mengedepankan sistem ekonomi kapitalis dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan Pancasila saat menerbitkan izin impor gula untuk delapan perusahaan swasta.
Tom saat menjabat Menteri Perdagangan disebut tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan asas kepastian hukum dan meletakkan hukum dengan ketentuan peraturan perundangan sebagai dasar pengambilan setiap kebijakan dalam pengendalian dan stabilitas harga di bidang perdagangan khususnya gula.
Lalu Tom disebut tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara akuntabel dan bertanggung jawab, bermanfaat dan adil dalam pengendalian dan stabilitas harga gula yang murah, terjangkau oleh masyarakat sebagai konsumen akhir atau kebutuhan bahan kebutuhan pokok berupa gula kristal putih.
Tom saat menjadi Menteri Perdagangan disebut telah mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen akhir atas gula kristal putih untuk mendapatkan gula kristal putih dengan harga yang stabil dan terjangkau.
Sedangkan hal meringankan adalah Tom belum pernah dihukum, tidak menikmati hasil korupsi yang dilakukan, bersikap sopan dan tidak mempersulit persidangan, serta ada uang yang dititipkan pada saat proses penyidikan ke penyidik Kejaksaan Agung.
Deret kekeliruan hakim
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menilai ada sejumlah kekeliruan mendasar dalam putusan Majelis Hakim PN Tipikor di kasus Tom Lembong tersebut.
Pertama, Chairul menilai ada kekeliruan dari Majelis Hakim yang memaknai ketentuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang sifatnya sejajar. Sehingga Tom tetap dinilai bersalah meskipun tidak memperkaya diri sendiri karena telah memperkaya suatu korporasi.
Padahal, kata dia, seharusnya ada benang merah ataupun kaitannya antara upaya Tom Lembong memperkaya korporasi dengan dirinya sendiri dalam kasus impor gula.
"Seharusnya memperkaya orang lain atau korporasi berhubungan dengan memperkaya diri sendiri secara tidak langsung. Jadi harus ada hubungan afiliasi antara Tom dengan perusahaan pengimpor gula yang dalam kasus tersebut sama sekali tidak terbukti," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/7).
Kedua, Chairul memandang Majelis Hakim juga keliru terkait unsur melawan hukum yang didasari ketidakcermatan Tom menerapkan UU Perdagangan. Sebab, delik korupsi dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor bersifat dolus delict atau kesengajaan. Sedangkan ketidakcermatan bersifat culpa atau kelalaian.
"Lagipula kalaupun benar Tom tidak cermat, maka hal itu hanya dapat dipandang maladministrasi yang seharusnya tidak dapat dikenakan sanksi pidana," tuturnya.
Di sisi lain, ia juga menyoroti pertimbangan Majelis Hakim yang menilai dalam kasus tersebut telah terpenuhi unsur merugikan keuangan negara berdasarkan perhitungan sendiri dan tidak memakai hasil audit BPKP.
Tak hanya itu, Chairul mempertanyakan pertimbangan Hakim yang menilai Tom lebih mengedepankan sistem ekonomi kapitalis ketimbang ekonomi pancasila.
"Tom cuma menteri yang menjalankan kebijakan, sehingga atas ekonomi kapitalis yang dijalankan kalau benar begitu, maka yang harus bertanggung jawab adalah Presiden Jokowi," jelasnya.
"Ada error in persona atau setidaknya kebijakan tidak bisa dipidana sehingga hal ini sama sekali bukan faktor yang memberatkan," imbuhnya.
Kesalahan fatal hakim, putusan mengada-ada
Terakhir yang paling penting, Chairul memandang Majelis Hakim telah melakukan kesalahan fatal karena tetap menghukum Tom meskipun telah menyatakan tidak memiliki mens rea atau niat jahat.
Padahal jika mengacu pada asas hukum yang ada, kata dia, orang yang melakukan actus reus (criminal act) tanpa mens rea (fault) tidak layak dipidana.
"Sesuai asas tersebut putusan ini sangat ngawur. Bahkan mahasiswa Semester 3 bisa lebih baik memahami mens rea daripada majelis hakim ini. Menurut pendapat pribadi saya seharusnya Tom dibebaskan," tegasnya.
Senada, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah alias Castro menilai pertimbangan hukum yang disampaikan hakim dalam kasus ini terlalu mengada-ada dan lebih kental nuansa politis.
Castro mengatakan dugaan kepentingan politis itu dapat dilihat dari tidak terpenuhinya unsur pidana korupsi dalam Pasal 2 dan 3 terkait memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi.
"Justru nuansa politis itu yang begitu kental di pengadilan tingkat pertama ini, yang memvonis 4,5 tahun penjara untuk Tom Lembong," jelasnya.
Peluang Tom Menang di Pengadilan Tinggi
Castro menilai Tom memiliki peluang untuk menang dalam proses banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan catatan Hakim yang menangani banding dapat benar-benar fokus di substansi hukum dan tidak memiliki kepentingan politis.
Ia menyebut dengan banyaknya pertimbangan hukum yang janggal, maka seharusnya hakim banding yang memeriksa penerapan hukum atau judex juris bisa menganulir atau membatalkan keputusan yang diberikan PN Tipikor Jakarta.
Dengan pertimbangan ada kekeliruan dalam penerapan hukum yang dilakukan pengadilan tingkat pertama. Yakni seseorang yang tidak terbukti unsur-unsur kesalahannya tetap dihukum sebagaimana delik dalam UU Korupsi.
"Kalau Majelis Hakim di tingkat PT betul-betul on the track hanya pada perkara hukumnya, saya yakin Tom Lembong tidak terbukti dan bisa saja dilepaskan atau dibebaskan oleh Majelis Hakim," jelasnya.
Lawan rekayasa hukum
Kendati demikian, Castro menegaskan upaya banding yang diambil oleh Tom dalam kasus ini bukan hanya persoalan menang dan kalah semata.
Ia memandang yang jauh lebih penting adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap rekayasa atau desain hukum yang dilakukan pemerintah terhadap lawan politik.
"Saya kira ini bukan soal menang-kalah saja ya, tapi bagaimana melawan upaya, desain atau rekayasa kasus dalam perkara. Meminjam istilah Pram, jangan pikirkan kekalahan, pikirkan berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," tuturnya.
Di sisi lain, Chairul mengatakan banyaknya dukungan yang mengalir pasca dijatuhkannya vonis 4,5 tahun penjara juga menandakan bahwa publik sudah mulai muak dengan aksi kriminalisasi atau politisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH).
"Publik bukan mendukung Tom Lembong, tapi muak dengan ketidakadilan dan kriminalisasi. Jangan lihat opini publik yang boleh jadi terpengaruh polarisasi Pilpres kemarin. Tapi lihat kalangan akademisi, semua mengecam putusan ini," pungkasnya.