Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merespons langkah Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang berencana mengambil alih tanah atau lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengingatkan agar kebijakan dan upaya penertiban tanah terlantar itu tidak salah arah dan sesuai dengan tujuan, Kementerian ATR/BPN perlu melakukan dan memastikan beberapa langkah.
Pertama, kebijakan penertiban tanah telantar harus diarahkan untuk mencegah modus-modus spekulan tanah oleh badan usaha yang menghasilkan monopoli dan ketimpangan penguasaan tanah.
"Agar menghadirkan rasa keadilan atas penguasaan tanah di tengah masyarakat," kata Dewi dalam keterangan tertulis, Rabu (23/7),
Kedua, pemerintah harus memastikan prinsip kehati-hatian dan skala prioritas dengan menempatkan HGU dan HGB badan usaha skala besar sebagai target utama penertiban tanah telantar.
"Alih-alih menertibkan kelompok masyarakat kecil yang justru semakin memicu perluasan dan meningkatkan eskalasi konflik agraria; mencederai rasa keadilan," ujarnya.
KPA menilai penertiban saja tidak cukup, harus diikuti semangat reform agar menjadi terobosan politik penyelesaian konflik agraria, terutama dari HGU dan HGB swasta dan PTPN yang selama ini macet.
"Artinya, kebijakan ini harus selaras dengan agenda reforma agraria yang telah menjadi program Presiden Prabowo," ujar Dewi.
Ia juga mengatakan upaya penertiban harus menyasar daerah-daerah yang mengalami ketimpangan dan konflik agraria akibat monopoli badan usaha swasta dan negara.
Hasil penertiban tersebut diprioritaskan kepada kelompok ekonomi lemah melalui redistribusi tanah kepada para petani gurem, petani penggarap, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin perkotaan.
Pemerintah juga dinilai perlu memastikan prinsip transparansi dan mendorong partisipasi publik secara luas untuk memastikan penertiban tanah telantar tidak salah sasaran dan mampu menyasar akar persoalan.
Ia mengatakan KPA selama ini telah mengusulkan lokasi-lokasi penyelesaian konflik agraria sebagai lokasi prioritas.
"Lokasi-lokasi tersebut merupakan wilayah-wilayah konflik agraria yang disebabkan penguasaan HGU dan HGB badan usaha yang sudah habis masa berlakunya, maupun ditelantarkan. Lokasi tersebut sudah menjadi tanah garapan masyarakat dan kampung-kampung, namun belum mendapatkan pengaku sehingga masyarakat belum mendapatkan hak atas tanahnya," kata dia.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid sebelumnya menyampaikan pemerintah akan mengambil alih lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.
Kebijakan ini diberlakukan terhadap tanah yang sudah besertifikat namun tidak digunakan untuk aktivitas ekonomi atau pembangunan apa pun.
"Terhadap yang sudah terpetakan dan besertifikat, manakala sejak dia disertifikatkan dalam waktu dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan apa-apa atau dalam arti tanah tersebut tidak didayagunakan kemanfaatannya, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan," kata Nusron dalam acara Pengukuhan dan Rakernas I PB IKA-PMII Periode 2025-2030 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7).
Ia menuturkan proses peringatan dilakukan secara bertahap hingga tanah tersebut bisa ditetapkan sebagai tanah telantar.
(yoa/wis)