Uji materi Pasal 23 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, pemohon adalah seorang Advokat Viktor Santoso Tandiasa yang ingin MK memuat larangan wakil menteri rangkap jabatan dalam amar putusan.
"Secara resmi akan mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, 28 Juli 2025, pukul 13.00 WIB," ujar Viktor melalui keterangan tertulis, Minggu (27/7).
Viktor menjelaskan alasan permohonan tersebut diajukan karena hingga kini praktik rangkap jabatan wakil menteri menjadi komisaris pada perusahaan milik negara (BUMN) masih terjadi. Berdasarkan catatannya, ada 30 wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris BUMN.
"Oleh karenanya saya merasa perlu menguji dan menegaskan Pasal 23 UU 39/2008 yang menyatakan 'Menteri dilarang merangkap jabatan' dianggap bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai 'Termasuk Wakil Menteri'," ucap Viktor.
"Tujuannya agar Mahkamah Konstitusi tidak hanya memuat penjelasan pada bagian pertimbangan hukum saja sebagaimana termuat dalam Putusan No. 80/PUU-XVII/2019, namun harus memuat dalam amar putusan sehingga menghilangkan perdebatan atas keberlakuan mengikat larangan rangkap jabatan tersebut," imbuhnya.
Viktor mengaku merasa memiliki tanggung jawab sebagai warga negara yang berprofesi sebagai Advokat (penegak hukum) yang menaruh atensi pada penegakan nilai-nilai konstitusionalisme.
Sebab, selain sebagai Advokat, Viktor juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi (badan hukum) yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.
Lebih lanjut, Viktor menganggap kerugian konstitusional yang dialami bersifat spesifik dan aktual, dengan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya Pasal yang dimohonkan pengujian.
Hal itu karena lewat rangkap jabatan komisaris oleh wakil menteri, maka pengawasan di perusahaan-perusahaan milik negara menjadi tidak optimal sebagaimana tugas dan tanggung jawab dewan komisaris yang diatur dalam UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas (PT), sehingga menyebabkan kerugian-kerugian perusahaan dan terjadi praktik korupsi dan kolusi.
"Hal itu tentunya berpengaruh kepada pemohon sebagai konsumen seperti contoh harus mendapatkan BBM oplosan saat mengisi BBM di SPBU Milik Pertamina," imbuhnya.
Lihat Juga : |
Menurut Viktor, Pasal 23 UU 39/2008 yang melarang menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD, belum secara eksplisit mengatur wakil menteri.
Sementara, penjelasan MK pada bagian pertimbangan hukum Putusan Nomor: 80/PUU-XVII/2019 terhadap Pasal 23 UU 39/2008 berlaku juga untuk Wakil Menteri dinilai tidak mengikat, karena objek Pasal yang di Uji dalam putusan a quo bukanlah Pasal 23, melainkan Pasal 10 yang mengatur mengenai kedudukan wakil menteri.
"Sehingga penjelasan MK pada bagian pertimbangan hukum dinilai bukanlah merupakan ratio decidendi, namun sejenis obitur dicta yang tidak mengikat," ungkap Viktor.
Viktor menjelaskan hal itu mendasarkan pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan bahkan Ketua MPR RI berpendapat bahwa penjelasan MK dalam Putusan No. 80/PUU-XVII/2025 tidak mengikat.
Sementara dalam Putusan No. 76/PUU-XVIII/2020 dan Putusan 21/PUU-XXIII/2025, MK tidak mempertimbangkan pokok perkara sama sekali karena pada pokoknya MK menilai pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum.
Padahal, menurut Viktor, rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di perusahaan-perusahaan milik negara bertentangan dengan prinsip negara hukum, tata pemerintahan yang baik, dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, terang Viktor, telah menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan bagi menteri seharusnya berlaku pula bagi wakil menteri, mengingat pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri juga merupakan hak prerogatif Presiden.
Demi membantah alasan pemerintah menganggap rangkap jabatan wakil menteri menjadi komisaris perusahaan milik negara tidaklah melanggar, dia memberi solusi agar ada kepastian hukum serta memperbaiki tata kelola dalam perusahaan-perusahaan milik negara dengan menguji ketentuan Pasal 23 UU 39/2008.
"Upaya Ini adalah bentuk constitutional morality," kata Viktor.
Viktor memandang permohonan yang diajukannya tidak nebis in idem (dapat diajukan kembali) karena konstitusionalitas norma Pasal 23 UU 39/2008 belum pernah dinilai secara substansial oleh MK dalam putusan-putusan sebelumnya (No. 76/PUU-XVIII/2020 dan No. 21/PUU-XXIII/2025).
Sementara Putusan No. 80/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 10 UU 39/2008, bukan Pasal 23.
Praktik rangkap jabatan yang masih terus berlangsung hingga saat ini dengan setidaknya 30 wakil menteri merangkap jabatan komisaris di BUMN dinilai dapat menimbulkan konflik kepentingan, melemahkan tata kelola perusahaan, dan berpotensi melemahkan pengawasan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, serta mengakibatkan kinerja perusahaan tidak maksimal.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Viktor memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap frasa "Menteri dilarang merangkap jabatan" bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai "Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan".
Sehingga, bunyi frasa selengkapnya adalah: Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
(ryn/kid)