Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan bos minyak Mohammad Riza Chalid yang saat ini menjadi buronan masih berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna menanggapi kabar perubahan kewarganegaraan yang telah dilakukan Riza Chalid.
"Informasi terakhir sih masih (WNI). Yang jelas teman-teman juga perlu ketahui ada hal-hal yang kita tidak bisa buka atau masih bagian dari strateginya penyidik," ujarnya kepada wartawan, Senin (28/7).
Lebih lanjut, Anang memastikan tim penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus terus melacak posisi buronan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina.
"Penyidik memastikan tetap akan melacak keberadaan yang bersangkutan di mana dan sedang berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait," tuturnya.
"Tetapi sebelum itu juga ada tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh penyidik sesuai aturan yang berlaku dengan memperhatikan juga kedaulatan negara masing-masing," imbuhnya.
Sebelumnya informasi tentang keberadaan dan pernikahan Riza Chalid berada di Malaysia telah disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Boyamin menyebut Riza juga telah menikah dengan kerabat kesultanan di Malaysia.
"Bahwa Riza Chalid diduga telah lama tinggal di Johor Malaysia dan terdapat dugaan telah melakukan pernikahan dengan kerabat kesultanan di sebuah negara bagian Malaysia," tuturnya.
"Pernikahan ini telah memperkuat posisi Riza Chalid di Malaysia dalam bentuk jejak digital fotonya bersama Anwar Ibrahim menghadap Sultan Kedah," jelasnya.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 18 tersangka. Belasan tersangka itu mulai dari Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Selain itu, Kejagung juga menetapkan saudagar minyak Mohammad Riza Chalid selaku Beneficial Owner dari PT Orbit Terminal Merak (OTM) dan anaknya Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Kejagung menyebut total kerugian negara dalam perkara korupsi tersebut mencapai Rp285 triliun yang terdiri dari kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 dan Rp91,3 triliun dari kerugian perekonomian negara.
(tfq/isn)