Eks Pejabat Respons Usai Dirinya Tersangka di Kasus Satelit Kemenhan
Eks Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenhan Laksamana Muda TNI (P) Leonardi buka suara usai ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Leonardi bersama beberapa orang lainnya ditetapkan jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi koneksitas proyek pengadaan satelit slot Kemenhan.
Melalui kuasa hukumnya, advokat Rinto Maha mengatakan dirinya hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA tersedia, yakni pada Oktober 2016.
"Bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada sebagaimana diberitakan atau dituduhkan," kata Rio dalam keterangan tertulis, Selasa (29/7).
Keterangan ini sekaligus menjadi hak jawab dari yang bersangkutan terkait dengan pemberitaan sebelumnya.
Dia juga mengatakan penunjukan Navayo selaku pemenang adalah wewenang Pengguna Anggaran dan telah disampaikan akhir 2015 pada rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo saat itu.
Rio menegaskan kliennya Leonardi hanya bertugas sebagai PPK bukan pengambil keputusan utama dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kemenhan. Dia menegaskan seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Selain itu, Rio menegaskan tidak ada satu rupiah pun yang dibayarkan kepada Navayo sehingga tidak ada kerugian negara aktual.
Dia menuturkan Laporan hasil audit BPKP tertanggal 12 Agustus 2022 yang menjadi batu pijakan penyidik Kejagung RI menetapkan Leonardi tagihan belasan juta dolar Navayo belum pernah dibayarkan oleh Kemenhan.
"Seluruh klaim kerugian negara bersifat potensi (potential loss), bukan kerugian nyata (actual loss)," katanya.
Rio menegaskan di sisi lain CoP atau Certificate of Performance yang menjadi klaim tagihan juga tak disetujui oleh Leonardi saat itu. Faktanya, kata dia, Leonardi baru teken kontrak pada Oktober 2016 setelah ada revisi DIPA Kementerian Keuangan. Pada Juli 2016, kliennya tak meneken kontrak karena anggaran tak tersedia.
"Ini membuktikan klien kami menjalankan prinsip kehati-hatian, bukan melakukan perbuatan melawan hukum atau adanya penyalahgunaan wewenang pada saat menjabat," katanya.
Tak pernah ke kantor navayo di eropa
Rio menegaskan kliennya bahkan tidak pernah mendatangi Navayo di Eropa, sehingga narasi "bersekongkol" adalah tidak tepat.
Dia menuturkan Leonardi justru bersurat ke Navayo pada awal 2017 untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur pelaksanaan belum lengkap.
Ia juga menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah administratif korektif.
"Yang paling jelas Laksamana Muda TNI (P) Ir. Leonardi, MSc bukanlah pihak yang berwenang untuk memenangkan Navayo, karena dalam permenhan No 17 Tahun 2014 itu adalah wewenang Pengguna Anggaran, dan tindakan Leonardi untuk tidak menandatangani kontrak sebelum anggaran DIPA turun adalah bukti Mens Rea untuk menyalahgunakan wewenang tidak ada," katanya.
Oleh karena itu, Rio memaparkan sejumlah kesimpulan:
1. Bahwa klien kami tidak membela wanprestasi atau kecurangan Navayo yang tidak memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5% dan kesepakatan mengenai transfer teknologi kepada PT. LEN, dan ;
2. Bahwa klien kami tidak pernah secara aktif untuk melobi/berkomunikasi dengan penyedia atau mendatangi kantor Navayo (buka LHP BPKP tanggal 12 Agustus 2025), Pemenang tender pengadaan barang dan jasa diatas Rp100 Miliar berdasarkan aturan Permenhan No 17 Tahun 2014 adalah kewenangan Pengguna Anggaran, dan ;
3. Bahwa kami mendukung agar proses penegakan hukum yang dilakukan Kejagung dapat membuka fakta yang sebenarnya namun tidak mengorbankan orang yang bekerja secara jujur.
(asa)