Kendati demikian, baik Fahmi maupun Anton mewanti-wanti agar pemekaran keenam Kodam dapat dilakukan secara terukur agar tidak membebani postur anggaran keamanan dan pertahanan.
Fahmi mendorong agar pemenuhan personel, alutsista dan infrastruktur untuk keenam Kodam baru dapat dilakukan secara proporsional dan bertahap. Sehingga kebutuhan anggarannya tidak akan mengganggu prioritas pertahanan lainnya.
Selain itu, ia juga mewanti-wanti agar pembentukan enam Kodam ini harus konsisten mengacu pada peta kebutuhan strategis dan rencana pembangunan postur yang sudah ditetapkan, bukan sekadar ekspansi simbolik atau politis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika dijalankan dengan prinsip-prinsip itu, penambahan enam Kodam ini akan tetap berada dalam skala moderat, selaras dengan konsep pertahanan yang bersifat defensif aktif," jelasnya.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Anton juga meminta agar TNI AD dapat melakukan perampingan struktur organisasi di setiap Kodam yang telah ada. Cara ini diharapkan dapat menekan ekses kebutuhan anggaran yang sangat tinggi untuk masing-masing Kodam.
"Guna menekan ekses ini tidak terlalu tinggi, lonjakan pada pos rutin maka butuh ada inovasi dan adaptasi yang baru. Misalnya struktur dari organisasi kodam baru atau seluruh kodam dibuat lebih ramping," jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga mendorong agar pemberian fasilitas bagi pimpinan atau pejabat tinggi Kodam dapat ditekan atau dikaji ulang sesuai yang dibutuhkan saja agar dapat menekan biaya.
Ia mengatakan langkah-langkah tersebut diperlukan agar nantinya pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan tetap dapat melakukan modernisasi alutsista yang juga tidak kalah penting.
"Mengingat dalam waktu yang bersamaan pemerintah dalam hal ini presiden sudah melantik 20 brigade pembangunan yang jelas-jelas anggarannya besar," tuturnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik langkah pembentukan enam Kodam baru yang diresmikan oleh Prabowo.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf selaku salah satu perwakilan koalisi menilai hal itu menunjukkan jika orientasi pertahanan Indonesia masih mengacu pada dinamika di dalam negeri (inward looking).
Padahal, kata dia, orientasi pertahanan Indonesia seharusnya melihat kebutuhan untuk mengurai dinamika dan perkembangan global (outward looking). Araf yang juga pengamat militer mengatakan tata kelola organisasi TNI saat ini semakin bersifat pragmatis dan hanya berorientasi pada kepentingan elite semata.
"Penambahan struktur dan pengembangan organisasi dilakukan semata-mata untuk mengatasi penumpukan jumlah perwira menengah dan tinggi di tubuh TNI yang berlebih," jelasnya.
Menurutnya kebijakan itu diambil tanpa melihat implikasi dan dampaknya terhadap beban anggaran negara. Selain itu pemekaran Kodam juga tidak didasari strategi pertahanan baru yang ideal serta berorientasi pada nilai-nilai demokrasi.
Araf memprediksi langkah ini akan memicu pembengkakan anggaran pertahanan. Akibatnya beban belanja di sektor pertahanan akan meningkat dan berfokus pada belanja rutin dan operasional semata.
"Sementara pemenuhan kebutuhan prioritas seperti modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan peningkatan kesejahteraan prajurit menjadi semakin sulit," ujarnya.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar seluruh kebijakan pertahanan yang diambil pemerintah berbasis pada Strategic Defence Review dan Buku Putih Pertahanan yang disusun secara transparan.
Koalisi juga mengingatkan agar orientasi kebijakan pertahanan difokuskan untuk kepentingan jangka panjang dan bukan kepentingan elite militer.
"Hal ini penting, mengingat membangun kekuatan pertahanan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan tergesa untuk menghindari penyimpangan dan subyektivitas tertentu," pungkasnya.