Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian materi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisiasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk pasal terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Menolak permohonan para pemohon Nomor 11/PUU-XXIII/2025 baik di dalam provisi maupun pokok permohonan," ujar Ketua MK Suhartoyo yang memimpin sidang saat membacakan amar putusan seperti dikutip dari siaran Youtube MK.
Sebelumnya, para pemohon mengajukan uji materi atas pasal-pasal dalam UU HPP terkait PPN yakni P asal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para Pemohon menilai ketentuan tersebut berdampak langsung pada penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai PPN.
Selain itu, UU HPP juga menetapkan ketentuan baru mengenai tarif PPN dan mekanisme perubahannya.
Dikutip dari situs MK, para pemohon perkara tersebut berasal dari berbagai latar belakang yakni ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, serta organisasi yang bergerak di bidang kesehatan mental.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, MK menyatakan menyatakan dalil para Pemohon yang mempersoalkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, huruf g, dan huruf j dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 adalah dalil yang tidak berdasar sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Para pemohon sebelumnya menyatakan beleid itu tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan hidup yang layak akibat kesulitan untuk memenuhi barang-barang kebutuhan pokoknya, mendapatkan jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan medis, hingga jasa angkutan umum di semua moda karena PPN tersebut.
Kemudian, Ridwan mengatakan mahkamah juga menilai dalil pemohon yang mempersoalkan kenaikan tarif PPN seperti yang diatur dalam pasal yang digugat juga tidak beralasan menurut hukum.
Dalam permohonannya, para pemohon mempersoalkan penentuan kenaikan tarif 12% sebagaimana norma Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP. Menurut para pemohon menimbulkan ketidakkonsistenan antarperaturan.
Menurut mahkamah perubahan tarif PPN, "Perlu dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan negara dari penerimaan pajak yang terus meningkat."
"Pengenaan tarif PPN dari 5 persen hingga 15 persen, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal tersebut merupakan kebijakan fiskal yang fleksibel yang memungkinkan Pemerintah untuk menyesuaikan tarif tersebut berdasarkan kondisi ekonomi nasional dan kebutuhan fiskal negara sepanjang tetap mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat," demikian pertimbangan mahkamah.
Lihat Juga : |
Mahkamah juga menilai penetapan tarif PPN dalam rentang paling rendah 5% hingga 15% yang diatur dengan Peraturan Pemerintah masih dalam koridor konstitusional karena diawasi DPR.
Penetapan tarif PPN hanya dapat ditentukan oleh pemerintah setelah disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
"Oleh karena itu, pembentukan peraturan pemerintah sebagai pendelegasian undang-undang dilakukan dengan tetap berada dalam pelaksanaan fungsi konstitusional DPR karena masih dapat dinilai memenuhi prinsip no taxation without representation," demikian pertimbangan para hakim MK.
Dalam putusan itu ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi Arsul Sani.
"Hakim konstitusi Arsul Sani menyatakan pada pokoknya permohonan para pemohon seharusnya dapat dikabulkan untuk sebagian ," demikian disampaikan Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan tersebut.
Permohonan uji materi ini berfokus pada ketentuan dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP.
Para pemohon menilai ketentuan tersebut berdampak langsung pada penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Selain itu, UU HPP juga menetapkan ketentuan baru mengenai tarif PPN dan mekanisme perubahannya.
Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 4A ayat (2) UU HPP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Kenaikan tarif PPN hingga 12 persen, menurut para Pemohon, telah memicu lonjakan harga barang kebutuhan pokok, di tengah kondisi pendapatan masyarakat yang stagnan atau bahkan menurun. Situasi tersebut, lanjut mereka, memaksa masyarakat menurunkan kualitas konsumsi atau tidak lagi mampu membeli barang dengan kualitas yang sama.
Dikutip dari situs MK, melalui petitumnya, para pemohon meminta mahkamah menyatakan ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, untuk Pasal 7 ayat (3) UU HPP, para Pemohon meminta Mahkamah agar menetapkannya sebagai ketentuan konstitusional bersyarat, sepanjang penetapan tarif PPN didasarkan pada indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan yang jelas.
Sedangkan untuk Pasal 7 ayat (4), para Pemohon meminta agar perubahan tarif PPN hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, bukan peraturan pemerintah.
(kid/sur)