Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyatakan hak keuangan anggota DPR sudah melampaui batas jika dibandingkan dengan kinerja dan fungsi subtansial mereka.
Dia mengatakan besarnya uang yang diterima anggota DPR dapat memicu mereka melakukan banyak cara untuk memenangi pemilihan.
"Ini sebenarnya yang memantik korupsi hingga money politic (politik uang)," kata Dedi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bilang politik uang sangat mungkin hilang apabila gaji dan tunjangan anggota DPR saat menjabat tidak melampaui batas.
Bahkan, Dedi memandang nominal Rp50 juta (yang diperuntukkan sebagai tunjangan rumah) seharusnya menjadi jumlah penghasilan total anggota DPR.
"Itu pun sudah hidup di atas kelayakan di Jakarta. Jadi, sangat memprihatinkan jika Rp50 juta rupanya hanya untuk rumah. Negara kehabisan sumber daya hanya untuk membiayai anggota DPR yang dari sisi kinerja juga masih sangat kurang," imbuhnya.
Dedi memandang gaji dan tunjangan besar boleh saja asalkan berimbas pada pembangunan negara dan tata kelola pemerintah.
Seperti misalnya bisa menghasilkan Undang-undang Antikorupsi yang berani menjatuhkan sanksi sangat keras pada koruptor, UU Perampasan Aset, bahkan UU Hukuman Mati bagi Koruptor.
"Faktanya, mereka tidak bekerja untuk bangsa ini, melainkan hanya untuk dirinya dan kepentingan kelompoknya," kata dia.
Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha memandang DPR perlu mengumumkan besaran anggaran reses dan kunjungan daerah. Menurut dia, perlu ada kejelasan apakah anggaran tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya atau tidak.
Dia meminta DPR untuk mengumumkan total anggaran yang diterima selama menjabat sebagai anggota legislatif. Egi menyoroti anggaran untuk rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta yang sudah dipastikan akan diberikan.
Dia mengingatkan tunjangan perumahan berpotensi memboroskan anggaran publik hingga Rp1,74 triliun. Jumlah itu didapat melalui perhitungan 580 anggota DPR x Rp50 juta x 60 bulan (5 tahun).
"DPR harus menjelaskan alasan yang lebih kokoh terkait keputusan tersebut. Seperti, mengapa angka Rp50 juta yang diambil, apakah sudah mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku," kata Egi.
"Tunjangan perumahan kami duga kuat hanya untuk menambah biaya politik untuk menebus ongkos pemilu, atau merawat jaringan patronase para politisi DPR," sambungnya.
Dari sisi etika publik, Egi menyebut anggaran yang diperuntukkan untuk rumah anggota DPR bukanlah keputusan yang patut dan adil.
Hal itu mengingat banyak warga yang tengah menghadapi berbagai macam kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan akibat kenaikan pajak.
Oleh karena itu, dia menyatakan dengan tegas anggota DPR tidak layak untuk memperoleh kenaikan pendapatan.
"Tidak layak dapat anggaran besar jika melihat kinerja mereka. Ingat bahwa mereka melakukan penyusunan Undang-undang dengan tertutup, tidak melibatkan publik dan ugal-ugalan. Sudah terang mereka tidak pantas mendapatkan itu," tegas Egi.
(ryn/isn)