ANALISIS

Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang

CNN Indonesia
Kamis, 21 Agu 2025 10:25 WIB
Pendapatan besar per bulan setiap anggota DPR RI dinilai tak sepadan dengan kinerja yang dilakukan.
Pendapatan besar per bulan setiap anggota DPR RI dinilai tak sepadan dengan kinerja yang dilakukan. (ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pendapatan per bulan setiap anggota DPR RI menuai sorotan tajam imbas dari ucapan yang menyebut ada kenaikan tunjangan.

Mulanya, Wakil Ketua DPR Adies Karding mengungkapkan kenaikan tunjangan tersebut membuat anggota DPR bisa mengantongi uang sejumlah Rp120 juta per bulan.

Adies mengatakan ada kenaikan tunjangan beras dan bensin. Dua pos itu disebut naik sekitar Rp2 juta per bulan untuk setiap anggota.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata dia, tunjangan beras naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta per bulan, lalu BBM dari Rp5 juta menjadi Rp7 juta per bulan.

Kemudian juga ada tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan yang merupakan kompensasi atas tidak ada lagi rumah dinas untuk anggota DPR.

Namun, belakangan, Adies mencabut pernyataannya yang membuat polemik tersebut. Setelah mengecek data di Kesekretariatan DPR, dia menegaskan tak ada kenaikan tunjangan untuk pos beras dan bensin.

Politikus Partai Golkar ini menyebut hanya ada tunjangan rumah sebesar Rp50 juta yang merupakan konsekuensi atas tidak adanya rumah dinas bagi anggota DPR.

Terlepas dari semua itu, pendapatan anggota DPR dinilai sudah sangat besar. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 serta Surat Menteri Keuangan Nomor: S-520/MK.02/2015 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 mengatur besaran gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang diterima anggota DPR.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan uang yang diterima anggota DPR setiap bulan sudah sangat besar, belum lagi jika dihitung tunjangan reses dan dana aspirasi.

Kata dia, DPR mempunyai lima kali masa reses dalam setahun. Jumlah uangnya disebut tidak main-main.

"Di periode lalu, Krisdayanti (anggota DPR Fraksi PDIP) menyebut angka Rp450 juta yang diberikan lima kali dalam setahun. Terus ada juga dana reses yang diberikan sebanyak delapan kali dengan total 140 juta. Keterangan yang disampaikan Krisdayanti mungkin tidak sangat valid, tetapi informasi uang masuk itu tentu nyata," ujar Lucius kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Rabu (20/8).

Lucius lantas menyoroti penggunaan dana reses dan aspirasi. Menurut aturan, dana tersebut untuk membiayai kegiatan reses anggota DPR. Namun, tidak ada kepastian apakah semua anggota DPR melaksanakan reses dengan menghabiskan semua jatah uang reses dan aspirasi yang dibawanya atau tidak.

"Laporan kegiatan reses kan tidak selalu valid karena dilaporkan ke fraksi dan jadi syarat administratif untuk pencairan dana reses berikutnya," ucap dia.

"Jadi, apakah anggota benar-benar pulang ke dapil ketika reses, itu sulit dipastikan. Yang jelas, pulang atau tidak, dana reses dan aspirasi itu pasti cair. Kalau begitu, kan, uang reses dan aspirasi itu masuk kantong anggota toh? Kan enggak harus dikembalikan kalau tidak digunakan," sambungnya.

Lucius mengungkapkan pendapatan legal tersebut jumlahnya sudah sangat fantastis. Belum ditambah pendapatan yang diterima dari mitra kerja komisi berbentuk dana sosialisasi, dana Corporate Social Responsibility (CSR), dan lain-lain.

Dia menyindir barangkali anggota DPR sendiri kagum dengan kenikmatan yang diperolehnya dari 'upah' mewakili rakyat. Namun, dia juga menyentil pendapatan yang begitu besarnya tidak berbanding lurus dengan kinerja.

"Uang dengan jumlah yang sangat lebih dari cukup itu seharusnya menghapus semua hambatan bagi anggota DPR untuk bekerja maksimal," ungkap Lucius.

"Sayangnya kenaikan tunjangan itu bukan untuk mendongkrak kinerja. Tunjangan yang terus bertambah ternyata memanjakan anggota DPR," imbuhnya.

Lucius mengatakan sikap manja tersebut tampak dalam keogahan meningkatkan kinerja atau mengutamakan kepentingan masyarakat.

Selama 10 bulan awal anggota DPR 2024-2029 bekerja, dari 42 RUU Daftar Prioritas 2025, baru 1 RUU yang berhasil disahkan yaitu revisi UU TNI.

Sebanyak 13 RUU lainnya yang juga berhasil disahkan DPR berasal dari Daftar Kumulatif Terbuka (RUU tentang Propinsi atau Kabupaten/Kota, RUU tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi seperti RUU BUMN dan RUU Minerba).

"Jadi, yang benar-benar menampakkan visi politik legislasi DPR baru 1 RUU saja. Ya RUU BUMN dan RUU Minerba juga sebenarnya menampilkan politik legislasi, tetapi enggak ada tuh di daftar 42 RUU Prioritas 2025," tutur dia.

Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, lanjut Lucius, masyarakat hampir jarang mendengar sikap kritis DPR terhadap aneka kebijakan pemerintah. Padahal, ada banyak kebijakan utama pemerintah yang menimbulkan polemik tahun ini.

"Suara DPR seperti tenggelam di balik tumpukan uang tunjangan besar yang mereka terima," katanya.

Begitu juga dengan pelaksanaan fungsi anggaran. Lucius bilang tidak ada sikap kritis DPR sebagai lembaga penyeimbang terhadap pemerintah.

"Jadi, apa gunanya kenaikan tunjangan jika tak ada sumbangsihnya untuk mendongkrak semangat bekerja anggota? Oleh karena itu, kenaikan tunjangan tampak tak layak diberikan," tegas dia.

Cederai akal sehat & nurani publik

Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP) Cusdiawan mengatakan isu kenaikan tunjangan bagi anggota DPR menunjukkan menunjukkan elite politik yang tidak sensitif terhadap permasalahan masyarakat.

Dia bertanya-tanya bagaimana mungkin anggota DPR menikmati atau bahkan sekadar memikirkan kenaikan tunjangan di tengah keresahan dan kegelisahan masyarakat atas isu pengangguran ataupun kesulitan mencari kerja.

"Isu naiknya tunjangan ini berpotensi besar semakin mengikis legitimasi publik terhadap DPR selaku lembaga negara. Apalagi DPR selama bertahun-tahun secara konsisten menjadi salah satu lembaga yang tingkat kepercayaan publiknya paling rendah," kata Cusdiawan, Rabu (20/8).

Menurut dia, di masa-masa awal menjabat yang bahkan belum genap satu tahun, semestinya anggota DPR fokus untuk menunjukkan efektivitas kinerja maupun kualitas produk legislasi yang dihasilkannya.

Hal itu diperlukan di tengah sorotan publik terhadap DPR sebagai lembaga negara yang secara konsisten dari tahun ke tahun gagal memenuhi target-target yang dicanangkan terutama RUU yang masuk Prolegnas secara umum, ataupun mandeknya proses legislasi sejumlah RUU yang berpotensi menguatkan posisi masyarakat rentan; seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

"Jadi, saya rasa, berangkat dari dua alasan di atas saja, isu naiknya tunjangan anggota DPR ini bukan hanya mencederai akal sehat, tapi juga menyakiti nurani publik," kata Cusdiawan yang merupakan Alumnus Universitas Padjadjaran (UNPAD) ini.

Kala Suara DPR Tenggelam di Balik Tumpukan Tunjangan Besar

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER