Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah, menegaskan pentingnya pemerintah menyusun asumsi makro dan kebijakan fiskal RAPBN 2026 secara realistis, namun tetap memberikan harapan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini disampaikan dalam pengantar Rapat Kerja Banggar DPR bersama pemerintah mengenai pokok-pokok RUU RAPBN 2026 di Jakarta, Kamis (21/8).
Ia mengakui bahwa situasi global saat ini penuh tantangan akibat konflik konvensional dan perang dagang yang menciptakan ketidakpastian ekonomi dunia.
"Kita ingat idiom 'same storm, different boats', banyak negara memiliki masalah yang sama, tetapi berbeda kemampuan menghadapinya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (21/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, dia optimis Indonesia memiliki kemampuan baik untuk menghadapi badai eksternal ini. Apalagi IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2026 mencapai 3 persen, lebih baik dari perkiraan tahun ini yang 2,8 persen. Negara-negara berkembang juga diproyeksikan tumbuh 3,9 persen tahun depan.
Menghadapi tren proteksionisme akibat perang dagang, Said menekankan pentingnya kemandirian pangan dan energi.
"Kita tidak cukup hanya mengandalkan strategi bertahan dengan membuka fiskal ekspansif melalui defisit APBN," tegas dia.
Dirinya kemudian membandingkan dengan India yang memiliki strategic petroleum reserve dan mempertanyakan apa yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi hal serupa.
Dia pun mengapresiasi capaian sektor pertanian yang tumbuh 10,52 persen dan sektor peternakan 8,8 persen pada kuartal I 2025.
Terkait dengan target pendapatan negara, pemerintah menargetkan dalam RAPBN 2026 sebesar Rp3.147,7 triliun, naik Rp282,2 triliun dari target 2025. Kenaikan ini didominasi penerimaan perpajakan yang naik dari Rp2.387,3 triliun menjadi Rp2.692 triliun.
Said menekankan Banggar DPR mendukung kenaikan penerimaan pajak ini, namun dengan catatan. Salah satunya dengan meminta pemerintah agar tidak menaikkan tarif pajak, apalagi kondisi perekonomian rakyat tidak baik baik saja.
"Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang, dengan kata lain perlu memperbesar skala usaha para pelaku usaha, dan memperbanyak pelaku usaha agar memberikan sumbangan besar bagi penerimaan perpajakan," tuturnya.
Salah satu perhatian serius DPR adalah berkurangnya Dana Transfer ke Daerah dan Desa yang turun drastis Rp269 triliun, dari Rp919 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun pada RAPBN 2026.
Said menilai penurunan ini berpotensi menghambat pelayanan publik dan pembangunan di daerah. Lebih jauh, hal ini bisa memaksa pemerintah daerah membuat kebijakan baru yang rentan menaikkan pajak daerah dan pada akhirnya membebani rakyat.
Dia juga menyoroti pertumbuhan investasi dalam negeri yang hanya 2,12 persen pada kuartal I 2025. Kondisi ini disebabkan investor yang memilih wait and see dan memarkir modal pada aset safe haven seperti emas.
Terkait nilai tukar rupiah yang cenderung terdepresiasi terhadap dolar AS, dirinya melihat ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi bisa meningkatkan devisa jika ekspor ekspansif, namun di sisi lain berdampak pada mahalnya produk impor.
Mengakhiri pernyataannya, Said mengingatkan bahwa berbagai program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat harus menjadi game changer yang benar-benar mengubah keadaan menjadi lebih baik.
"Jangan sampai kita wasting time dan kehilangan sumber daya sia-sia. Kuncinya pada tata kelola yang akuntabel, transparan, dan partisipatif," tegasnya.
Dengan berbagai catatan ini, Banggar DPR berharap RAPBN 2026 dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menghadapi tantangan ekonomi global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
(rir)