Polda Sumut Bebaskan 42 Pengunjuk Rasa di Medan
Polda Sumut memulangkan 42 pengunjuk rasa yang sempat ditangkap saat ricuh aksi menolak tunjangan mewah DPR di depan gedung DPRD Sumut di Medan. Akan tetapi dua orang lainnya dilakukan rehabilitasi karena positif menggunakan narkoba.
"Dari total 44 orang yang diamankan, sebanyak 42 orang dipulangkan setelah menjalani pemeriksaan," kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Ferry Walintukan, Kamis (28/8).
Dia menyebutkan sebelum dipulangkan, para pengunjuk rasa tersebut terlebih dahulu diberikan arahan dan pembinaan oleh penyidik.
"Sementara itu, hasil tes urine mendapati 2 orang positif narkoba. Keduanya diserahkan ke Ditresnarkoba Polda Sumut untuk penanganan lebih lanjut. Sesuai ketentuan, mereka akan diajukan dalam program rehabilitasi," jelasnya.
Terpisah, KontraS mengutuk keras dugaan tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap massa aksi yang melakukan demonstrasi menyikapi kenaikan tunjangan DPR RI. Alih-alih mengakui tindak kekerasan itu, polisi malah membuat pembingkaian (framing) pemberitaan seolah pengamanan massa dilakukan secara humanis.
Lihat Juga : |
"Pernyataan Kapolda Sumatera Utara Irjen Whisnu Hermawan Februanto yang menggambarkan penanganan massa aksi dilakukan secara humanis dan tegas patut dipertanyakan. Mengingat temuan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya," kata Staf Opini Publik KontraS Sumatera Utara, Adhe Junaedy.
Penilaian tersebut didasarkan pada pemantauan langsung di lapangan serta bukti-bukti yang dihimpun dari berbagai sumber, termasuk dokumentasi KontraS dan unggahan di media sosial.
"Polisi melakukan tindakan kekerasan secara terstruktur dan sistematis berupa penyiksaan serta perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat serta intimidasi terhadap peserta aksi, pemeriksaan dan penggeledahan yang tidak sah, hingga upaya pembungkaman kebebasan pers melalui serangan terhadap jurnalis," ujarnya.
KontraS menilai ada penggunaan kekuatan berlebihan yang menabrak Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
"Ini bisa dilihat dari pengerahan sekitar 800 personel kepolisian. Jumlah tersebut tentu tidak proporsional terhadap jumlah peserta aksi yang bahkan tidak sampai 500 massa," tegasnya.
Selain itu, kehadiran satuan Brimob yang menenteng senjata laras panjang memperkuat dugaan upaya intimidatif dan jauh dari prinsip pengamanan berbasis hak asasi manusia.
Alih-alih meredam ketegangan, pola penanganan tersebut justru memperbesar potensi pelanggaran serta memperlihatkan kegagalan institusi kepolisian dalam menerapkan standar profesionalisme dan proporsionalitas dalam pengamanan aksi. Ini terbukti dari banyaknya massa aksi yang menjadi korban kekerasan.
"Kepolisian lagi-lagi tanpa malu telah mengangkangi aturan internalnya sendiri. Bahkan sejak awal tidak ada iktikad baik dari Polda Sumut untuk memberikan akses pendampingan hukum kepada massa aksi yang ditahan, ini bentuk pelanggaran HAM," imbuhnya.
Berdasarkan pemantauan KontraS peserta aksi yang ditangkap mengalami aksi kekerasan berupa dipukul, dipiting, didorong, diseret dan ditendang. Bahkan, seorang masa aksi harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami kejang setelah disiksa polisi.
"Kami mendesak Komnas HAM melakukan investigasi menyeluruh atas semua tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian selama aksi. Tindakan brutal di balik framing humanis dalam penanganan massa aksi menunjukkan buruk rupa kepolisian dalam implementasi HAM," kata Adhe.